KABUL, KOMPAS.TV - Serangan drone yang dilancarkan Amerika Serikat pada Minggu (29/8/2021) di Kabul, menewaskan warga sipil termasuk anak-anak dari dua keluarga.
AS berdalih serangan tersebut menyasar anggota ISIS-K, yang mengaku bertanggung jawab atas serangan bom di luar Bandara Kabul pada Kamis (26/8/2021) lalu.
Serangan drone AS tersebut menewaskan sepuluh orang dengan rentang usia dua tahun hingga 40 tahun yang berasal dari keluarga Ahmadi dan Nejrabi.
Kepada Al Jazeera, Aimal Ahmadi mengatakan keponakan-keponakannya yang tewas dalam serangan drone hanyalah anak-anak tak berdosa.
Selama berjam-jam, tutur Aimal, dia dan keluarganya yang lolos dari maut harus mendengarkan laporan media lokal dan internasional yang menyebut anggota keluarganya yang tewas, sebagai anggota ISIS-K.
“Mereka tidak berdosa, anak-anak yang tak berdaya,” ungkapnya tentang keponakan-keponakannya termasuk Malika yang baru berusia dua tahun.
Baca Juga: AS Luncurkan Serangan Drone untuk Membunuh Anggota ISIS-K Perencana Bom Bunuh Diri Bandara Kabul
Aimal mengatakan saudara laki-lakinya, Zemarai (40 tahun), baru tiba dari tempat kerjanya sebelum serangan terjadi.
Karena kedua keluarga tersebut berencana untuk terbang ke AS, Zemarai meminta salah satu putranya untuk memarkir mobil di dalam rumahnya yang berlantai dua. Dia ingin putra-putranya belajar menyetir sebelum mereka ke AS.
Anak-anak Zemarai yang lain ikut masuk ke mobil karena ingin menikmati perjalanan singkat dari jalan ke pekarangan rumah mereka.
“Saat mobil itu berhenti, saat itulah roket itu menghantam,” tutur Aimal.
Para tetangga langsung berdatangan ke lokasi kejadian setelah terdengar ledakan. Mereka menggambarkan keadaan mengerikan yang mereka saksikan seusai serangan sebagai “adegan horor.”
“Kami hanya menemukan kakinya,” tutur seorang tetangga tentang salah satu anak yang tewas, Farzad.
Baca Juga: Drone AS Serang Mobil ISIS yang Penuh Peledak di Luar Bandara Kabul, Timbulkan Ledakan Dahsyat
Sementara AS berkeras mengatakan pihaknya melancarkan serangan udara terhadap sebuah kendaraan untuk menyingkirkan ancaman ISIS-K, kelompok yang berafiliasi dengan ISIS.
Keluarga Ahmadi dan para tetangga mengatakan klaim AS yang menyebutkan serangan tersebut menargetkan mobil yang diduga akan digunakan sebagai pembawa bom oleh anggota ISIS-K, mengada-ada.
“Kami rakyat Afghanistan, kami tahu apa yang akan terjadi jika ada mobil yang penuh dengan bahan peledak, dihantam dari langit,” kata Abdol Matin, seorang tetangga yang tumbuh besar bersama anak-anak keluarga Ahmadi, Senin (30/8/2021) pagi.
“Jika Anda tidak mampu menghantam target yang tepat, serahkan Afghanistan kepada rakyatnya,” kata Abdol Matin sehari sebelum pasukan AS dijadwalkan angkat kaki dari negara itu sepenuhnya setelah 20 tahun berada di sana.
Zemarai bekerja sebagai insinyur lebih dari sepuluh tahun. Sedangkan Naser Nejrabi, ipar Zemarai yang tewas dalam serangan drone AS, bekerja untuk Angkatan Darat Afghanistan di Kandahar.
Sementara Romal, saudara laki-laki Zemarai, yang tidak berada di rumah saat serangan terjadi, bekerja sebagai sopir di Kementerian Air dan Energi.
Karena mereka bekerja dan memiliki hubungan dengan pemerintah dan pasukan asing, mereka memperoleh tawaran Visa Imigran Spesial dari AS.
“Mereka bekerja di perusahaan swasta. Mereka berdinas di militer. Mereka bagian dari pemerintah, apa yang membuat seseorang berpikir mereka teroris?” seru Aimal.
Baca Juga: Taliban Kecam ISIS-K: Tak Ada Maaf untuk Kelompok yang Membunuh Memakai Nama Islam
Emran Feroz, seorang wartawan Afghanistan yang berkedudukan di Jerman, mengatakan serangan drone AS pada hari Minggu lalu akan menarik perhatian media tentang masalah yang telah sering menimpa warga sipil di negara itu sejak invasi pimpinan AS dimulai pada 2001 silam.
“Ini sangat simbolis bahwa operasi-operasi AS di Afghanistan dimulai dengan serangan-serangan drone dan diakhiri dengan serangan-serangan drone. Sepertinya mereka tidak pernah belajar apapun dalam 20 tahun ini,” kata Feroz yang telah melakukan investigasi selama satu dekade tentang dampak serangan udara terhadap warga sipil di negaranya.
“Semua media hanya mengulang pernyataan Joe Biden (Presiden AS) yang mengatakan target (serangan) adalah Daesh (ISIS) tanpa mempertanyakannya,” katanya.
Jatuhnya korban warga sipil akibat serangan-serangan udara AS dan pasukan Afghanistan bukan sesuatu yang jarang terjadi di negara tersebut. Tapi dalam 15 tahun terakhir, sebagian besar serangan-serangan tersebut terjadi di daerah-daerah pedalaman Afghanistan.
Feroz mengatakan serangan drone AS pertama di Afghanistan terjadi pada 7 Oktober 2001 yang diklaim menewaskan pemimpin Taliban, Mullah Mohammad Omar.
“Sampai hari ini kita tidak pernah tahu siapa yang sebenarnya dibunuh, dan mungkin kita tidak akan pernah tahu,” pungkasnya.
Sumber : Al Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.