Selain itu, sangatlah penting untuk memahami latar belakang geografis, budaya, dan etnis serta sumber rekrutmen Al-Qaeda dan Taliban untuk membedakan antara kedua kelompok.
Kedua pendiri Al-Qaeda yang paling berpengaruh, Zawahiri dan Bin Laden, berasal dari keluarga kaya, terkemuka dan keduanya berpendidikan sangat baik.
Rekrutmen Al-Qaeda pertama adalah orang Arab Afghanistan dari perang melawan Soviet di Afghanistan. Nah, latar belakang orang-orang Arab yang ikut berperang dalam jihad melawan Soviet ini beragam.
Ajaran Azzam tentang kesyahidan dan seruan jihad banyak memikat anak muda Arab dari berbagai latar belakang sosial maupun ekonomi.
Baca Juga: Profil Abdul Ghani Baradar, Kepala Biro Politik Taliban yang Disebut Calon Presiden Afghanistan
Banyak dari mereka adalah fundamentalis murni namun melarat dan rindu keadilan, yang memandang diri mereka "sebagai pagar betis tanpa batas yang diberdayakan oleh Tuhan untuk membela seluruh umat Islam".
Kematian dan kemartiran secara khusus menarik mereka yang mengalami penindasan pemerintah dan perampasan sumber ekonomi. Kemartiran dan surga tampak jauh lebih menarik daripada penderitaan hidup.
Sedangkan kelompok Arab Afganistan lainnya termasuk mereka yang hanya ingin tahu tentang jihad, mendambakan petualangan, dan menginginkan cara yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu luang mereka.
Banyak dari kelompok ini yang berasal dari keluarga kaya dan pergi berperang dalam jihad hanya untuk memberikan makna yang lebih dalam bagi kehidupan mereka yang sembrono atau sangat duniawi.
Kelompok ini termasuk “anak-anak manja dari Teluk Persia yang datang bertamasya jihad, tinggal di kontainer kargo ber-AC; disuplai dengan RPG dan Kalashnikov AK-47 yang bisa mereka tembakkan ke udara, lalu mereka bisa pulang ke rumah mereka di negara masing-masing untuk membual tentang petualangan mereka.”
Bin Laden dan beberapa anggota Al-Qaeda kembali ke Afghanistan pada tahun 1996, setelah harus angkat kaki dari Sudan. Selama mereka di Afghanistan, anggota Al-Qaeda dibenci orang-orang Taliban atau orang Afghanistan lainnya karena anggota Al-Qaeda dipandang sebagai orang kaya, canggih, dan kosmopolitan.
Selain itu, orang-orang Al-Qaeda dipandang cukup rasis dan memandang orang Afghanistan sebagai orang barbar udik yang tidak berpendidikan.
Orang-orang Afghanistan membenci arogansi dan kebelaguan yang ditampilkan orang-orang Al-Qaeda, misalnya seperti mengendarai kendaraan jip mewah mereka yang ber-AC dan kinclong, dengan kaca gelap dan berpelat nomor Dubai.
Baca Juga: Ancaman Serangan ISIS Makin Tinggi di Bandara Kabul, Warga Agar Segera Bubar dan Mencari Tempat Aman
Kelompok Negara Islam atau ISIS
ISIS lahir dari Al-Qaeda di Irak AQI sebagai tanggapan atas invasi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003. Banyak kalangan juga setuju kelompok itu dibentuk terutama oleh Abu Musab al-Zarqawi dan Abdulrahman al-Qaduli alias Abu Ali al-Anbari seperti dilansir dari The Atlantic tahun 2018.
Sepintas, ideologi jihad ISIS mungkin tampak tidak dapat dibedakan dengan ideologi Al-Qaeda, seperti ditulis Ahmad Saiful Rijal bin Hassan dkk dari Nanyang Technological University, Singapura.
Menurut Saiful Rijal, ISIS adalah kasus khusus dari kelompok radikal yang lahir dari hubungan antara kebutuhan psikologis, narasi ideologis, dan proses berjejaring.
Al-Qaeda dan ISIS memandang negara dan agama sebagai satu kesatuan yang tak terhindarkan, sehingga semua keputusan pemerintahan dan politik harus didasarkan pada interpretasi yang ketat dari hukum syariah (menurut tafsir masing-masing).
Namun pada kenyataannya, kedua kelompok tersebut berbeda secara signifikan dalam beberapa hal yang berkaitan dengan Aqidah (akidah) dan Manhaj (metodologi).
Secara khusus, inti perselisihan antara Al-Qaeda dan ISIS berfokus pada penggunaan takfir yang berlebihan oleh ISIS, pada cara dan momen yang tepat untuk mendirikan kekhalifahan Islam, dan pada cara penggunaan narasi Akhir Zaman.
Dan meskipun Zarqawi akhirnya berjanji setia kepada Osama Bin Laden, perbedaan mendasar tetap ada dan akhirnya menyebabkan perpecahan terbuka antara ISIS dari Al-Qaeda.
Ideologi ISIS menyatakan Islam harus dibersihkan dari dalam, dan umat Muslim yang tidak secara ketat mengikuti interpretasi Islam yang disahkan ISIS harus dinyatakan murtad, darahnya halal dan boleh dihukum mati.
Sebaliknya, Al-Qaeda menganggap pembunuhan Muslim sebagai tidak sesuai dengan tujuan jihad yang lebih luas, karena dukungan dari umat Islam akan dilemahkan oleh pembunuhan Muslim, baik Syiah maupun Sunni.
Sementara Al-Qaeda berkomitmen untuk berjihad melawan Barat dan menghindari, jika mungkin, halangan apa pun untuk kampanye globalnya, ISIS menganggap kaum Syiah sesat, mengutuk praktik mereka (seperti mencambuk diri sendiri), dan menyangkal dasar mereka dalam Al-Qur'an atau dalam setiap tradisi kenabian, dan karena itu mencap mereka kaum Syiah sebagai murtad.
Baca Juga: Milisi ISIS Sergap Pos Penjagaan di Kairo, Sedikitnya 5 Tentara Tewas
Proklamasi takfir juga meluas ke umat Islam lainnya yang menyimpang dari ajaran ideologis ISIS. Siapa pun yang tidak sejalan dengan tafsir keislaman ISIS, maka darahnya halal.
Sebuah daftar 40 poin yang dikeluarkan oleh ISIS berjudul 'Aqidah wa Manhaj al-Dawlah al-Islamiah fi al-Takfir menyatakan, "Siapa pun yang menganut demokrasi dan sekularisme, dan semua pemerintah yang tidak memerintah oleh hukum syariah, dianggap kafir atau murtad, yang melegitimasi pembunuhan mereka."
Para pemimpin Al-Qaeda kecewa dengan skala dan cakupan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Zarqawi dan menuduh Kelompok Negara Islam IS menyimpang dari 'aqidah' Islam yang sebenarnya.
Benturan antara Al-Qaeda dan Al-Qaeda di Irak (dua kelompok berbeda) makin meningkat dan makin keras setelah transformasi Al-Qaeda di Irak ke pembentukan ISIS pada tahun 2006. Konflik tumbuh semakin akut setelah deklarasi khilafah pada tahun 2014.
Al-Qaeda menuduh ISIS mengabaikan manhaj (metodologi) yang benar dalam menentukan khalifah dan menganggap ISIS tidak berhak mendirikan negara Islam. Zawahiri secara eksplisit menegur berdirinya ISIS.
Secara khusus, Zawahiri mengatakan, “Kami tidak akan menerima siapa pun yang memaksakan dirinya pada rakyat di wilayah ini, yaitu siapa pun yang berkuasa tanpa konsensus penduduk."
Zawahiri menjelaskan manhaj Al-Qaeda adalah untuk menyatukan umat Islam dan mengembalikan khalifah yang dibimbing dengan benar berdasarkan musyawarah para ulama.
Bagi para pemimpin Al-Qaeda, kekhalifahan adalah tujuan yang jauh, yang harus didekati hanya ketika dukungan rakyat Muslim telah dimenangkan.
Baca Juga: Pasukan Koalisi Berusaha Tangkap Sisa-Sisa Anggota ISIS yang Sembunyi di Irak
Mereka sangat tidak menyukai ketidaksabaran ISIS, termasuk deklarasi kekhalifahan ISIS setelah hanya menguasai petak-petak tanah yang terbatas dan merebut Baghdad atau seluruh Irak.
Meskipun ketiganya (Taliban, Al-Qaeda, dan ISIS) mempraktikkan variasi ekstremis Islam Sunni, kelompok Taliban mengajarkan bentuk cabang Deobandi, yang sebenarnya kurang ekstrem dibandingkan versi tradisi Wahhabi-Salafi yang dipraktikkan oleh ISIS dan Al-Qaeda.
Beberapa Perbedaan Ideologis dan Budaya Taliban dengan ISIS
Kelompok Negara Islam IS adalah organisasi pan-Islamis, memiliki agenda jihad global tanpa batas dan bertujuan untuk mendirikan satu entitas politik yang terdiri dari semua negara dan wilayah Muslim.
Sementara, Taliban bersikeras agenda mereka bersifat lokal, hanya terbatas di Afghanistan. Tujuan mereka menyatakan adalah untuk membebaskan Afghanistan dari "pendudukan asing" dan penarikan penuh dan secepatnya bagi seluruh pasukan asing dari negara itu.
Dengan mendeklarasikan Khilafah, Abu Bakar Al-Baghdadi menuntut kesetiaan semua Muslim.
Ada perbedaan teologis juga. Taliban adalah gerakan ulama konservatif yang setia pada versi puritan dari mazhab Hanafi Islam Sunni, yang dipraktikkan oleh sebagian besar Sunni Afghanistan. Mereka umumnya percaya pada tasawuf dan cenderung menghindari kekerasan sektarian anti-Syiah.
Kelompok Negara Islam IS, yang menganut ideologi Wahhabi/Salafi cabang Islam Sunni yang lebih keras, tidak percaya pada tasawuf dan menganggap Syiah sebagai kafir.
Saat mengumumkan pendirian cabang Khorasan, IS mengatakan tujuannya adalah "untuk memaksakan Tauhid (monoteisme) dan mengalahkan Syirik (politeisme)", sebuah referensi ke Islam tradisional di mana orang-orang Sufi dihormati dan tempat-tempat suci dikunjungi.
Para cendekiawan agama Taliban juga mengeluarkan fatwa-fatwa yang menentang legitimasi dan ideologi ISIS dan membenarkan upaya memeranginya atas dasar agama.
Sumber : Kompas TV/France24/BBC/www.e-ir.info/The Atlantic/Forces.net
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.