Bahkan lebih jauh, permasalahan ini kata Gus Nadir bersumber pada Taliban yang hingga kini belum menentukan bentuk negara setelah mengakuisisi pemerintahan Republik Islam Afghanistan.
"Saya ingin melihat apa sih bentuk negara yang mereka inginkan. Apakah perempuan diberikan hak untuk memilih dalam pemilu atau berhak untuk dipilih. Dan itu akan menentukan bentuk negara dan arah Taliban berikutnya," pungkasnya.
Perlu diketahui, sekitar tahun 1996 menuju 2000 Taliban pernah berkuasa di tanah Afghanistan setelah berperang.
Taliban saat itu telah menorehkan rekam jejak buruk terhadap hak perempuan, mulai dari menutup universitas, memaksa hampir semua perempuan berhenti dari pekerjaan, hingga menutup akses berperan bagi negara.
Bahkan, Taliban juga membatasi akses ke perawatan medis untuk perempuan hingga secara brutal memberlakukan aturan berpakaian yang ketat, dan membatasi kemampuan wanita untuk bergerak di sekitar kota.
Tidak hanya itu, Taliban tercatat pernah melakukan tindakan kekerasan yang mengerikan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan, penculikan, dan pernikahan paksa.
Baca Juga: Taliban Bakar Taman Bermain Setelah Viral Rekaman Pejuangnya Bermain Bom-bom Car dan Komidi Putar
Bahkan tidak sedikit keluarga secara terpaksa mengirim putri mereka ke Pakistan atau Iran sebagai upaya melindungi.
Kini ketika Taliban mulai kembali menguasai Afghanistan ada kekhawatiran terhadap hak-hak perempuan yang akan kembali direnggut.
Meski Taliban sudah berjanji, hal tersebut belum sepenuhnya terbukti.
Menurut Mantan Staf PBB di Kabul, Dhyana Paramita menyebutkan Indonesia perlu melakukan diplomasi politik bersama Taliban untuk memastikan akses terhadap hak dasar perempuan terpenuhi.
"Akses itu penting, tapi akses bisa ditutup untuk bisa berkarya dan menyuarakan pendapat. Politik kita (Indonesia) harus bisa memastikan akses tersebut terbuka," cetusnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.