YouTube juga mengatakan akan menghapus konten pro-Taliban.
Twitter tidak menanggapi permintaan komentar. Tetapi Shaheen dan tiga juru bicara Taliban lainnya, yang bersama-sama memiliki hampir satu juta pengikut, masih bisa terus melakukan aktivitas mengunggah. Ini menunjukkan bahwa situs tersebut sejauh ini menolak untuk melarang mereka di bawah kebijakan "organisasi kekerasan".
Seperti Facebook, Twitter sebelumnya merujuk pada daftar orang dan lembaga terkait teror yang dibuat AS untuk membenarkan penghapusan konten yang diunggah oleh kelompok-kelompok Islam seperti Hamas dan Hizbullah.
Tetapi status Taliban kini sedikit ambigu dan bikin mumet. Mereka muncul dalam Daftar Teroris Global yang Ditunjuk Khusus Departemen Keuangan AS, tetapi tidak diklasifikasikan sebagai Organisasi Teroris Asing oleh Departemen Luar Negeri AS.
Raman Chima, direktur kebijakan Asia di kelompok advokasi internet Access Now, menyarankan jejaring sosial harus fokus pada penilaian kasus per kasus. Ini termasuk seperti menilai apakah unggahan resmi Taliban menghasut kekerasan atau tidak, ketimbang mengandalkan penunjukan dan referensi pemerintah.
Chima mencatat mereka, raksasa-raksasa media sosial, menghadapi kesulitan yang sama setelah kudeta Myanmar pada bulan Februari mengenai apakah akan memblokir platform junta militer Myanmar atau tidak.
"Dengan Afghanistan, itu sangat bergantung pada diskusi dan musyawarah pembagian kekuasaan," kata Chima. "Jika Taliban secara resmi diakui sebagai bagian dari itu, kita mungkin akan melihat lebih banyak tekanan pada perusahaan penyedia jasa media sosial seperti Twitter, Instagram dan Facebook untuk tidak mengambil posisi keras seperti yang mereka lakukan terhadap Junta Militer Myanmar."
Baca Juga: Imbas Taliban Kembali Kuasai Afghanistan, IMF Hentikan Bantuan Pinjaman
Akun Taliban 'Centang Biru'?
Pertanyaan menyoal apakah Taliban akan diizinkan untuk berkomunikasi melalui akun resmi kementerian pemerintah Afghanistan, yang beberapa di antaranya punya puluhan ribu pengikut dan terverifikasi sebagai akun "centang biru", masih belum terjawab.
Untuk saat ini, memberi label per konten (atau per unggahan) dari akun yang dikelola Taliban dan melengkapinya dengan disclaimer masih tetap menjadi acuan, saran Chima.
Yang jelas adalah, Taliban telah mengakui kekuatan media sosial, senjata yang tidak tersedia selama masa kekuasaan mereka di era 1996 - 2001, kata analis kontra-terorisme yang berbasis di Delhi, Kabir Taneja.
"Mereka telah belajar banyak tentang kekuatan komunikasi dari orang lain seperti ISIS," kata Taneja.
Taliban sudah makin mahir selama bertahun-tahun mengunggah di media sosial. Mereka sangat aktif di Twitter serta Facebook selama bertahan dan lalu bergerak maju, hingga puncaknya meraih kemenangan saat menduduki ibu kota Kabul pada pertengahan Agustus lalu.
Tapi, Taneja memperingatkan, Taliban juga bisa berusaha membatasi akses warga Afghanistan ke internet. Ia menunjuk pada rekaman pengunjuk rasa anti-Taliban di kota Jalalabad yang menjadi viral minggu ini.
"Peristiwa semacam ini dapat mendorong Taliban untuk sangat mengontrol penetrasi internet di masa mendatang," kata Taneja.
Sumber : Radio France International
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.