JAKARTA, KOMPAS.TV - Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana meminta pemerintah Indonesia tidak buru-buru mengakui pemerintahan Taliban yang sudah menguasai Afghanistan.
Hikmahanto menyebut, kondisi Afghanistan saat ini penuh ketidakpastian, meski Taliban sudah merebut istana negara.
“Menurut saya, pemerintahan Indonesia tidak perlu terburu-buru mengakui pemerintahan yang akan berkuasa di Afghanistan. Karena dari pengamatan saya, masih cair siapa yang akan menjadi penguasa Afghanistan,” urai Hikmahanto kepada Kompas TV, Rabu (18/8/2021).
Baca Juga: Profil Zarifa Ghafari, Wali Kota Afghanistan yang Mengaku Siap Dibunuh Taliban
Ia bahkan menyebut, ada perlawanan dari sejumlah elit politik yang berkuasa pada kemunculan Taliban.
“Perkembangan terakhir yang saya cermati, wakil presiden yang sekarang ada menyatakan diri sebagai presiden,” kata Hikmahanto.
“Beberapa wali kota itu menginginkan adanya perlawanan terhadap pasukan Taliban,” imbuhnya.
Menurut Hikmahanto, pemerintah Indonesia sebaiknya tidak buru-buru mengambil sikap, selama belum ada sosok tertinggi spesifik yang berkuasa menggantikan Presiden Ashraf Ghani.
“Di dalam negeri masih belum jelas siapa yang akan menjadi pemimpin. Dalam hal ini bukan dari Talibannya, tapi orangnya atau dari pemerintahan yang ada,” kata Hikmahanto.
Alasan lainnya, pemerintah Indonesia dapat dianggap ikut campur urusan dalam negeri Afghanistan, bila buru-buru mendukung Taliban atau kelompok tertentu.
Keputusan terburu-buru juga dapat membahayakan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Afghanistan.
“Katakanlah ada yang keluar sebagai pemenang dan pemenang itu bukan yang didukung pemerintah Indonesia, itu akan menyebabkan hubungan diplomatik kedua negara ini terganggu,” ujarnya.
Di sisi lain, Indonesia juga perlu mengamati langkah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebelum mengambil sikap.
Baca Juga: Wapres Afghanistan Amrullah Saleh, Bersumpah Lawan Taliban
“Karena Dewan Keamanan PBB sudah melakukan sidang darurat untuk membahas kondisi yang terjadi di Afghanistan sepeninggal Amerika Serikat,” katanya.
Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Abdul Kadir Jailani mengakui, pemerintah pun tidak buru-buru mengambil sikap.
Jailani mengatakan, pemerintah Indonesia memahami situasi Afghanistan itu dan masih mengikuti perkembangannya.
“Untuk itu, kita juga melakukan komunikasi secara intensif dari berbagai jalur, termasuk komunikasi yang dilakukan Menlu Retno Marsudi dengan Menlu Qatar dan Utusan Khusus Amerika Serikat untuk urusan Afghanistan,” ujar Jailani.
Menurut Jailani, tokoh-tokoh Afghanistan masih berunding mengenai sosok pemimpin dan masa depan negara itu.
“Saat ini masih terdapat perundingan di antara tokoh-tokoh Afghanistan. Kita semua belum mengetahui hasilnya,” kata Jailani.
Pada akhirnya pemerintah Indonesia, kata Jailani, berharap Afghanistan dapat membentuk pemerintahan inklusif dan meraih perdamaian.
“Perdamaian yang sustainable (berkelanjutan) hanya dapat dicapai dengan mempertimbangkan aspek penyelesaian politik yang realistik dan tetap menjunjung tinggi perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak-hak wanita dan kaum minoritas,” tegasnya.
Baca Juga: Anak-Anak Perempuan di Herat Tetap Bersekolah Setelah Pengambilalihan Afghanistan Oleh Taliban
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.