BRAZZAVILLE, KOMPAS.TV -- Sepatu berbahan kulit sapi sudah dikenakan. Sapu tangan pemanis sudah terselip di saku jas. Pipa cangklong pun sudah dipegang. Inilah protokol pengecekan yang dilakukan Contrao de Pereira, pria asal Republik Kongo, sebelum dia keluar rumah, seperti dilansir Xinhua, Minggu, (8/8/2021).
Di Republik Kongo dan tetangganya, Republik Demokratik (RD) Kongo, kelompok penggemar mode seperti de Pereira ini dikenal sebagai "sapeur".
Sebutan mereka berasal dari istilah slang bahasa Prancis yang berarti bergaya necis dan berpakaian parlente atau berkelas.
Namun, sebutan itu juga berasal dari akronim bahasa Prancis kelompok sosial mereka, "SAPE", yaitu orang-orang elegan dan pencipta suasana nan modis.
Bagi de Pereira, yang mengklaim bahwa setiap orang di Republik Kongo adalah sapeur, darah budaya SAPE terutama mengalir di urat nadinya.
Baca Juga: 2 Desa Kongo Diserang, Sedikitnya 50 Tewas, ADF yang Berafiliasi dengan ISIS Diduga Pelakunya
Lahir dan dibesarkan di keluarga sapeur terkenal, de Pereira pada usia tiga tahun sudah belajar dari sang ayah tentang bagaimana caranya tampil gaya dan memadukan berbagai warna pada pakaiannya.
Baginya, tetap tampil perlente menjadi bagian dari kehidupannya sekaligus tugasnya sebagai seorang sapeur.
"Budaya SAPE berarti, yang terutama, kecintaan untuk tampil gaya," ujar de Pereira sambil memamerkan merek-merek yang dia kenakan untuk pertemuan mingguan di bar setempat.
Saat akhir pekan tiba, para sapeur di Brazzaville, Ibu Kota Republik Kongo, biasanya berkumpul di luar bar-bar setempat.
Mereka menikmati bir sambil mengobrol tentang hidup dan kehidupan, menyelipkan sedikit "joie de vivre" dalam kehidupan mereka.
Baca Juga: Kongo Umumkan Berakhirnya Wabah Virus Ebola
Dalam setiap pertemuan itu, jalanan setempat di Brazzaville berubah layaknya peragaan busana dalam pekan mode Paris.
Orang-orang bergaya perlente itu bergantian dengan flamboyan memamerkan pakaian yang mereka kenakan sambil berdansa mengikuti alunan musik.
Walau menjadi seorang Sapeuri terkesan perlu banyak usaha, de Pereira mengatakan, sebenarnya orang awam hanya perlu mengikuti satu aturan saja untuk menjadi bagian dari kaum Sapeur.
"Jika Anda ingin menjadi sapeur sejati, Anda hanya perlu menghormati trilogi tiga warna, yaitu apa yang kita kenakan tidak boleh lebih dari tiga warna sekaligus," paparnya.
Ingat, kaum Sapeur masa depan Indonesia, pakaian yang dikenakan tidak boleh lebih dari tiga warna sekaligus.
Orang-orang yang mengidentikkan diri mereka sebagai bagian dari kaum Sapeur umumnya adalah pekerja keras yang tidak terlahir di pinggan emas maupun perak.
"Sebagian orang bekerja keras untuk membeli rumah, namun kami, bekerja keras banting tulang sepanjang hidup hanya untuk bergaya parlente," tutur Mesmin Ba Couleur, salah seorang Sapeur lain di jalanan Brazzaville.
Baca Juga: PBB Peringatkan Lebih 27 Juta Orang Kongo Menderita Kelaparan Akut
Selain pakaian mahal mereka, etos yang berpusat pada rasa saling menghargai, perdamaian, integritas, dan kehormatan turut terpatri pada sosok para sapeur.
"Saya selalu mengatakan bahwa para sapeur adalah orang-orang yang cinta damai. Kami selalu berusaha menunjukkan pesan yang tepat," ujar de Pereira.
Bagi para sapeur, yang merupakan kalangan terhormat di masyarakat setempat, mereka menjadi panutan untuk tetap tampil gaya sekaligus menjaga kebersihan pribadi.
"Kami memberikan contoh dalam menjaga kebersihan. Kami mengimbau orang-orang untuk mencuci tangan dan menjaga jarak sosial (social distance). Ini juga menjadi makna SAPE," kata de Pereira.
"Rasanya bahagia menjadi seorang sapeur. Para sapeur adalah sosok multidimensi dan memiliki kekuatan luar biasa besar. SAPE itu bagus karena, lihat, gagah bukan penampilan saya kalau perlente begini?" kata de Pereira.
Sumber : Kompas TV/Xinhua/CNN/Guardian
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.