BANGKOK, KOMPAS.TV - Junta militer Myanmar pada Minggu (8/1/2021) mendeklarasikan diri sebagai pemerintah sementara negara yang diperangi itu, dengan kepala Min Aung Hlaing ditunjuk sebagai perdana menteri.
Pengumuman itu kemungkinan akan menjadi variabel baru saat para menteri luar negeri ASEAN mengadakan pertemuan virtual pada hari Senin (02/08/2021), untuk menemukan jalan ke depan dalam krisis politik dan kemanusiaan yang telah berlangsung enam bulan di Myanmar.
Meskipun ASEAN belum secara resmi mengakui junta militer Myanmar, perwakilan Junta sudah mengambil bagian dalam pertemuan resmi ASEAN.
Akses serupa belum diberikan kepada para pemimpin Pemerintah Persatuan Nasional saingan yang mencakup anggota parlemen terpilih yang digulingkan oleh kudeta militer 1 Februari.
Dalam pidato 50 menit yang disiarkan melalui media pemerintah pada hari Minggu, Jenderal Senior Min Aung Hlaing berjanji untuk mengadakan pemilihan umum yang "bebas dan adil" dan mencabut keadaan darurat saat ini pada Agustus 2023.
Hlaing mengklaim pemilihan November 2020 yang memilih kembali pemerintahan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) penuh kecurangan.
Panglima junta militer Myanmar itu juga mengatakan, "Myanmar siap untuk bekerja sama dengan ASEAN dalam kerangka ASEAN, termasuk dialog dengan utusan khusus ASEAN untuk Myanmar."
Baca Juga: Junta Militer Myanmar Resmi Batalkan Hasil Pemilu 2020, Enam Bulan Setelah Kudeta Militer
Sebelumnya, dia tampaknya menolak konsensus lima poin tentang krisis Myanmar yang disepakati oleh para pemimpin ASEAN pada bulan April.
Junta mengatakan akan bekerja sama dengan ASEAN hanya jika langkah-langkah yang diusulkan melengkapi peta jalannya.
Sejak April, ASEAN berjuang memilih utusan khusus yang akan memfasilitasi dialog di antara para pemangku kepentingan politik Myanmar.
Jenderal Min Aung Hlaing hari Minggu mengatakan pemerintahannya telah memilih mantan wakil menteri luar negeri Thailand Virasakdi Futrakul sebagai kandidat peran Utusan Khusus, namun tampaknya tidak melangkah lebih jauh.
Calon lainnya dilaporkan adalah mantan Menteri luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri kedua Brunei Erywan Yusof dan diplomat veteran Malaysia Razali Ismail.
Sistem perawatan kesehatan Myanmar, yang sudah dilemahkan oleh pemogokan pekerja medis dan pembalasan militer terhadap para pembangkang, makin dihantam oleh Covid-19, dan saat ini sangat kewalahan menghadapi pandemi Covid-19.
Secara resmi, negara itu mencatat 4.725 kasus baru pada hari Sabtu (01/08/2021). Tetapi jumlah kematian tercatat mencapai 392 orang, tiga kali lipat dari negara tetangga Thailand, yang mencatat empat kali lebih banyak infeksi baru.
Mengingat kendala parah pada kapasitas pengujian di Myanmar, para ahli medis mengatakan beban kasus Covid-19 yang sebenarnya di negara itu jauh lebih tinggi.
Baca Juga: Jumlah Kematian Akibat Corona di Myanmar Terus Melonjak
Banyak pasien dirawat di rumah oleh dokter sukarelawan dan pekerja amal, yang mengatakan kepada The Straits Times bahwa mereka harus bekerja diam-diam untuk menghindari penangkapan.
Sementara itu, tindakan keras militer terhadap orang-orang yang menentang kudeta telah melahirkan "pasukan pertahanan rakyat" yang melancarkan pemberontakan lokal melawan junta.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, setidaknya 940 orang telah dibunuh oleh junta sejak kudeta 1 Februari.
Jumlah tersebut diperdebatkan oleh Jenderal Min Aung Hlaing, yang menyalahkan "ekstremis NLD" pada hari Minggu karena menghasut petugas kesehatan untuk berbalik melawan negara.
Dia menuduh orang melakukan "bioterorisme" dengan menyebarkan berita palsu tentang Covid-19.
Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar, yang terdiri dari sekelompok pakar internasional yang bekerja di bidang hak asasi manusia di negara itu, telah menyerukan intervensi kemanusiaan internasional di Myanmar.
"Upaya darurat untuk meringankan penderitaan orang-orang yang menyeberang ke Thailand dan India jauh dari mampu mengurangi beban pusat pandemi di dalam negeri (Myanmar), yang perlu menjadi tujuan strategis utama dari tindakan regional dan internasional besar-besaran," kata Marzuki Darusman, salah seorang anggota Dewan Penasihat Khusus itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada 22 Juli.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.