MANILA, KOMPAS.TV – Ratusan kapal penangkap ikan China telah membuang tinja dan limbah selama bertahun-tahun di sebuah area di Laut China Selatan yang disengketakan. Aksi ini memicu timbulnya alga yang merusak terumbu karang dan mengancam ikan-ikan di kawasan itu.
Liz Derr, Kepala Simularity Inc – perusahaan perangkat lunak yang menciptakan teknologi kecerdasan buatan untuk analisis citra satelit – mengungkapkan, citra satelit selama 5 tahun terakhir menunjukkan tumpukan tinja manusia, limbah kotoran dan air limbah yang terakumulasi dan menimbulkan alga di sekelompok terumbu karang di kawasan Spratlys, tempat ratusan kapal penangkap ikan China berlabuh.
Melansir Associated Press, sedikitnya 236 kapal tampak di kepulauan karang yang dikenal sebagai Union Banks pada 17 Juni 2021 lalu. Hal ini diungkapkan Derr pada forum berita daring Filipina. China sendiri mengklaim Laut China Selatan beserta segala isinya sebagai miliknya.
Baca Juga: China Usir Kapal Induk AS di Laut China Selatan, Klaim Langgar Kedaulatan China
“Saat kapal-kapal itu tak bergerak, tinja terus menumpuk,” ujar Derr. “Ratusan kapal yang berlabuh di Spratlys membuang limbah mentah ke terumbu karang yang mereka tempati.”
Di masa lalu, China menyatakan telah menempuh langkah-langkah untuk melindungi lingkungan dan cadangan ikan di Laut China Selatan. Selain China, pasukan Vietnam juga menduduki sejumlah wilayah karang di Union Banks. Kawasan ini juga diklaim oleh Filipina, kendati tak ada kehadiran Filipina di kawasan itu.
“Ini adalah malapetaka dalam skala masif dan kita hampir sampai pada titik di mana kita tidak bisa kembali (dan memperbaikinya),” kata Derr.
Baca Juga: Filipina Protes Keras Pemblokiran Kapal Patrolinya oleh China di Laut China Selatan
Ia memperingatkan, kawanan ikan, termasuk tuna yang bermigrasi ke kawasan itu, berkembang biak di terumbu karang yang tengah rusak akibat pencemaran itu. Ini, tekan Derr, bisa menyebabkan cadangan ikan menurun drastis di kawasan lepas pantai yang merupakan sumber makanan utama di kawasan itu.
Sementara itu, Asisten Sekretaris Departemen Luar Negeri Filipina Eduardo Menez menyatakan, temuan itu harus dinilai dan disahkan oleh otoritas Filipina lebih dahulu. Setelahnya, katanya, baru keputusan untuk memprotes China bisa dibuat.
Beijing kembali menegaskan klaimnya atas Laut China Selatan. Kawasan ini juga diklaim oleh sejumlah negara di Asia Tenggara. China menolak deklarasi dukungan pemerintahan Amerika Serikat (AS) terhadap keputusan pengadilan internasional yang menolak klaim China pada tahun 2016 silam.
China semakin tegas dalam menekan klaim teritorialnya, hingga memicu ketegangan dengan para negara tetangga, termasuk Jepang, India, Vietnam da Filipina.
Baca Juga: Filipina Tuduh China Ingin Caplok Wilayah Kekuasaan Lebih Banyak di Laut China Selatan
Di bulan Maret, otoritas Filipina mendapati lebih dari 200 kapal penangkap ikan China di Whitsun Reef di pinggiran timur-laut Union Banks, dan meminta agar China menarik mereka dari area itu. China mengabaikan permintaan itu selama berminggu-minggu sembari tetap menegaskan bahwa terumbu karang itu merupakan wilayahnya sendiri.
Filipina berargumen bahwa Whitsun Reef terletak dalam bentang perairan yang diakui secara internasional merupakan miliknya, hingga Filipina punya hak eksklusif untuk mengeksploitasi perikanan, minyak, gas dan sumber daya laut lainnya.
Ini sesuai dengan putusan pengadilan internasional pada 2016 yang membatalkan klaim China atas Laut China Selatan dengan alasan sejarah, dan dengan suara bulat menjunjung tinggi hak kedaulatan Filipina atas zona ekonomi eksklusifnya.
Baca Juga: Menteri Pertahanan Filipina Minta 200 Kapal China Tinggalkan Pulau Sengketa di Laut China Selatan
Di Manila, ratusan warga menggelar aksi unjuk rasa pada Senin (12/7/2021) di depan Konsulat China untuk menandai 5 tahun keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag atas sengketa Laut China Selatan.
Keputusan pengadilan itu menolak klaim China atas Laut China Selatan beserta segala isinya. Namun, China mengabaikan keputusan itu dan terus menentang.
Para pengunjuk rasa juga memprotes Presiden Rodrigo Duterte, yang telah menjalin hubungan baik dengan Beijing, lantaran menolak bersikap agresif terhadap China agar mematuhi keputusan pengadilan itu.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.