LONDON, KOMPAS.TV – Sebuah laporan yang dipublikasikan oleh perusahaan konsultan risiko Verisk Maplecroft pada Kamis (13/5/2021) memuat 100 kota di dunia yang menghadapi risiko lingkungan terbesar.
Laporan itu menobatkan Jakarta sebagai kota paling rentan di dunia terhadap risiko lingkungan.
Melansir Time, dari seluruh 100 kota yang menghadapi risiko lingkungan terbesar itu, 99 kota di antaranya terletak di Asia.
Sementara, 14 kota dari 20 kota paling aman terhadap risiko lingkungan terletak di Eropa.
Para peneliti dalam laporan itu menilai 576 kota terbesar di dunia berdasarkan kualitas udara dan air, tekanan panas, kelangkaan air, kerentanan terhadap perubahan iklim dan eksposur lanskap, populasi, ekonomi serta infrastruktur terhadap bahaya alam.
Bahaya alam itu seperti gempa bumi, tsunami dan tanah longsor.
Laporan itu menyebut, sekitar 1,5 miliar orang tinggal di kota yang menghadapi “risiko tinggi atau ekstrim”.
Baca Juga: Gubernur Anies Minta Bantuan Menteri Luhut Atasi Banjir Jakarta
Asia tak cuma merupakan kawasan dengan penduduk paling padat.
Tapi juga semakin menambah tekanan pada sumber air dan menambah polusi dari pembakaran batu bara serta bahan bakar secara meluas.
Namun demikian, kawasan ini juga memiliki sejumlah besar “bahaya alam” yang tertanam pada geografisnya.
Contohnya, sejumlah kota di Jepang berisiko mengalami gempa bumi dan banyak kota di Delta Mekong di Vietnam yang sangat rentan banjir.
Laporan itu menobatkan Jakarta, ibu kota Indonesia yang dihuni oleh 10 juta penduduk, sebagai kota paling rentan sedunia terhadap risiko lingkungan.
Naiknya air laut dan penurunan tanah – karena menipisnya akuifer (=lapisan penampung air tanah) alami di bawah permukaan kota lantaran orang-orang memompa air keluar dari tanah untuk minum dan mencuci – menjadikan Jakarta sebagai kota yang paling cepat tenggelam.
Hal ini ditandai dengan banjir yang kerap melanda ibu kota dan sebagian kota Jakarta diperkirakan akan tenggelam pada tahun 2050.
Kota metropolitan ini juga mengalami polusi udara akibat pembangkit listrik tenaga batu bara.
Situasi lingkungan yang dihadapi Jakarta begitu buruknya hingga pemerintah pun berencana memindahkan ibu kota.
Baca Juga: Anies Apresiasi Penanganan Banjir Jakarta: Sebuah Kerja Kolosal
Sementara itu, India berada di urutan terburuk sebagai negara, dan 13 dari 20 kota paling berisiko lingkungan ada di negara ini.
India juga menduduki peringkat 43 dari daftar 100 negara yang dinilai.
Sejumlah kota di India yang menghadapi ancaman terbesar termasuk di antaranya New Delhi, dan Chennand Chandigarh.
Kualitas udara India yang buruk juga menyumbang faktor terbesar bagi tingkat risiko lingkungan yang dimiliki India.
Sebuah studi yang dipublikasikan di Lancet tahun lalu menemukan bahwa polusi udara berkontribusi terhadap 1,7 juta kematian dini di India pada tahun 2019.
Para ilmuwan mengatakan, polusi udara meningkatkan jumlah kematian dalam wabah Covid-19 yang dahsyat di India.
Sedangkan 37 dari 100 kota yang menghadapi risiko lingkungan terbesar terletak di China dan polusi udara disebut sebagai faktor penyebab terbesarnya.
Presiden Xi Jinping telah memprioritaskan pembersihan udara China sejak ia menjabat pada tahun 2013.
Ia membuat sejumlah program yang mendukung penggantian kompor berbahan batu bara di rumah-rumah dengan gas dan listrik.
Selain itu, ia juga mendisiplinkan pabrik-pabrik yang melampaui batas polusi melalui denda dan penutupan.
Namun, menurut Bloomberg, pemerintah China masih tertinggal dari jadwal untuk memenuhi targetnya sendiri.
Terutama karena China meningkatkan rencana untuk membangun pabrik batu bara baru sebagai upaya pulih dari ekonomi yang mati suri akibat pandemi.
Dibandingkan dengan di Asia, kota-kota di Afrika secara umum memiliki tingkat polusi udara yang lebih rendah.
Menurut Will Nichols, Kepala Penelitian Lingkungan dan Perubahan Iklim di Verisk Maplecroft, yang memimpin penyusunan laporan itu, kota-kota di Afrika cenderung menghapi risiko bahaya alam yang lebih sedikit.
Namun, para peneliti menyebut, sejauh ini, kota-kota di Afrika menghadapi risiko perubahan iklim terbesar: 38 dari 40 kota paling rentan risiko perubahan iklim ada di Afrika.
Ini berakar dari layanan publik dan infrastruktur yang kurang didanai di kawasan itu.
Termasuk suhu panas dan cuaca ekstrim yang secara tidak proporsional telah membuat perubahan iklim menjadi lebih umum terjadi di sana.
Lagos, kota terbesar di Nigeria, menghadapi risiko lingkungan terbesar Afrika dan menempati posisi ke-144 dari total 576 kota yang diteliti.
Ini lantaran Lagos memiliki masalah dengan kualitas udara, polusi air dan tekanan panas.
Lagos juga menduduki peringkat ke-4 sebagai kota paling rentan dengan perubahan iklim di dunia.
Para peneliti mengidentifikasi Glasgow, yang akan menjadi tuan rumah konferensi iklim PBB pada November tahun ini, sebagai kota paling tidak rentan terhadap perubahan iklim di dunia.
Glasgow juga menjadi kota paling aman ke-4 atas keseluruhan risiko lingkungan.
“Kendati sejumlah warga Skotlandia mengalami banjir alami,” kata Nichols, “Glasgow memiliki risiko rendah terhadap hampir semua hal lainnya," imbuhnya.
Baca Juga: Pulau Apung Sampah di Bosnia Bahayakan Lingkungan dan Manusia di Negara-Negara Balkan
Sementara itu, prospek kota-kota di Amerika Serikat (AS), beragam.
Sebagian besar pusat-pusat kota di negara itu memiliki kadar polusi udara yang relatif lebih rendah dibandingkan kota-kota di Asia dan Eropa.
Ini berkat keputusan-keputusan bersejarah tentang bahan bakar yang mencemari.
Kota-kota di bagian barat-daya menghadapi tekanan panas yang lebih besar dan bahaya alam yang lebih banyak.
Bahaya alam itu juga seperti gempa bumi dibandingkan kota-kota di bagian timur-laut.
Dari seluruh kota AS yang diteliti, Los Angeles menghadapi tingkat risiko lingkungan terbesar di posisi 257.
Hal tersebut sebagian besar karena kualitas udara yang buruk.
Lalu banyaknya bahaya alam dan tekanan air yang parah di negara bagian California.
Baca Juga: Bencana Gletser Himalaya: Pembangunan PLTA Tak Perhatikan Lingkungan dan Risiko Bencana
Verisk Maplecroft menyusun laporan tersebut untuk memandu perusahaan-perusahaan membuat keputusan bisnis.
Namun, laporan ini bisa jadi sama pentingnya bagi komunitas dan pembuat kebijakan dalam melihat masa depan kota mereka.
“Ancaman-ancaman lingkungan ini tidak akan hilang begitu saja dan di banyak kasus akan memburuk sebagai akibat dari perubahan iklim,” papar Nichols.
“Anda harus mulai menyertakan ancaman-ancaman lingkungan ini dalam pengambilan keputusan hari ini. Sungguh, ini bukan sesuatu yang bisa ditunda hingga besok," katanya, menegaskan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.