BANGKOK, KOMPAS.TV - Para pemangku kepentingan utama dalam gerakan antikudeta Myanmar yang mengkoordinasikan pemogokan secara nasional pada hari Senin, (26/4/2021), mengecam kesepakatan lima poin yang dicapai selama KTT khusus ASEAN baru-baru ini, dengan mengatakan hal itu tidak sejalan dengan keinginan rakyat Myanmar.
Ada juga rencana untuk membentuk mekanisme pemantauan untuk memastikan ASEAN membuat kemajuan yang berarti pada perjanjian yang ditandatangani pada hari Sabtu (24/4/2021) lalu.
Komite Pemogokan Umum Kebangsaan mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada hari Senin, hasil KTT di Jakarta tidak mencerminkan pandangan dan suara rakyat Myanmar dan tidak akan menyelesaikan krisis politik di Myanmar.
"Militer akan menjadi penghalang utama untuk membangun persatuan demokratis federal di masa depan yang dicita-citakan oleh rakyat," katanya, seperti dilansir Straits Times, Senin (26/4/2021).
Pertemuan tatap muka yang jarang dari para pemimpin Asean dikritik karena melibatkan pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing, yang melakukan kudeta pada 1 Februari lalu menjerumuskan negara itu ke dalam krisis yang begitu serius sehingga mengancam stabilitas regional.
Baca Juga: Presiden Jokowi Tuntut Junta Militer Myanmar Setop Pembunuhan dan Bebaskan Tapol
Sementara beberapa negara ASEAN bersusah payah untuk tidak mengakui jenderal senior sebagai perwakilan resmi Myanmar, blok tersebut juga tidak mengundang perwakilan dari Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang menantang legitimasi junta ke pertemuan puncak itu.
Setelah pertemuan tersebut, para pemimpin ASEAN mengumumkan konsensus tentang penghentian segera kekerasan di Myanmar dan peluncuran dialog antara pihak-pihak utama yang akan difasilitasi oleh utusan khusus ASEAN yang dibantu oleh sekretaris jenderal ASEAN.
Mereka juga sepakat delegasi ASEAN akan mengunjungi Myanmar, dan ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan.
Nikkei Asia melaporkan ketua ASEAN saat ini, Brunei Darussalam, sedang mempertimbangkan untuk mencalonkan mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda untuk jabatan utusan khusus ASEAN bagi urusan Myanmar.
Tak lama setelah pertemuan itu, Dr Sasa, menteri kerja sama internasional NUG, mengeluarkan pernyataan yang mengatakan konsensus itu "mendorong" dan "sangat ingin" menunggu keterlibatan mereka dengan sekretaris jenderal ASEAN.
Baca Juga: 3 Tuntutan Komitmen untuk Junta Myanmar dari Presiden Jokowi
Tetapi Ms Khin Sandar, juru bicara Komite Kolaborasi Pemogokan Umum yang mengkoordinasikan gerakan pembangkangan sipil, mempertanyakan penunjukan utusan ASEAN adalah taktik yang bertele-tele, karena sudah ada utusan khusus PBB untuk Myanmar - Ms Christine Schraner Burgener - yang sejauh ini ditolak masuk ke Myanmar.
Orang-orang Myanmar bertekad untuk tidak mengakui militer menentukan apapun untuk masa depan politik negara itu, kata Khin Sandar kepada The Straits Times.
"Kalau ASEAN tidak membantu, tidak apa-apa. Kami akan jalan sendiri," katanya. "Kami tidak akan mengizinkan junta mengatur rakyat kami."
Media pemerintah Myanmar sendiri tidak menyebutkan konsensus lima poin ASEAN.
Global New Light of Myanmar yang dikendalikan junta militer Myanmar hari Minggu (25/04/2021), hanya melaporkan bagaimana Jenderal Senior Min Aung Hlaing berbicara tentang bantuan berkelanjutan dari Myanmar dalam upaya rehabilitasi regional, kerja sama dengan ASEAN, dan perubahan politik di Myanmar dan program kerja di masa depan.
Baca Juga: Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR RI Sebut Junta Militer Myanmar Tak Pantas Ikut KTT ASEAN
Dalam konferensi pers pada hari Senin, (26/04/2021), anggota parlemen Malaysia Charles Santiago, yang memimpin Parlemen ASEAN untuk urusan Hak Asasi Manusia, mengatakan pembebasan semua tahanan politik adalah prasyarat yang diperlukan untuk penghentian kekerasan atau segala bentuk negosiasi untuk berlangsung.
"Tidak ada yang bisa bernegosiasi dengan tangan terikat," katanya.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (APHR) mengatakan lebih dari 3.400 orang ditahan pada hari Minggu, termasuk penasihat negara Aung San Suu Kyi dan presiden Win Myint.
Setidaknya hingga saat ini diperkirakan sudah 751 rakyat Myanmar tewas dibunuh aparat keamanan mereka sendiri.
APHR sedang bekerja untuk menyiapkan mekanisme untuk memantau dan menilai bagaimana ASEAN menerapkan konsensus, kata Santiago.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.