CHUGUR, KOMPAS.TV – Saat sekolah-sekolah di seluruh Peru ditutup karena pandemi Covid-19, Pedro Castillo (51) mencoba mencari jalan agar ia tetap bisa mengajar 20 orang muridnya di kelas 5 dan 6. Namun, di kawasan pedesaan miskin nun di pedalaman Andes, upayanya sia-sia belaka.
Sebanyak 17 muridnya bahkan tidak punya akses ke ponsel. Tablet yang dijanjikan pemerintah, tak pernah datang.
“Saya menelepon murid-murid saya yang punya ponsel standar, dan ayah mereka yang mengangkat telepon di ladang. Saya tak bisa berkomunikasi dengan murid saya,” ujarnya.
“Saya coba menelepon lagi sorenya, dan malam harinya. Anak-anak tak mengangkat telepon karena mereka sudah kelelahan di tempat tidur.”
“Di mana negara?!” tanya Castillo pada The Associated Press usai menanam ubi manis di tanahnya seharian.
Baca Juga: Rakyat Ekuador dan Peru Gelar Pemilu Pilih Presiden Baru
Selama 25 tahun belakangan, Castillo dan murid-muridnya berjuang menggelar kegiatan belajar-mengajar di gedung sekolah yang runtuh. Tak cuma mengajar, guru-guru juga menyapu lantai dan melakukan pekerjaan administrasi.
Castillo sempat menjajal aktivisme dengan bergabung dengan serikat guru setempat dan membantu memimpin aksi mogok nasional pada tahun 2017. Kini ia melangkah lebih jauh dengan bergabung bersama 18 kandidat calon presiden dalam pemilu presiden (pilpres) Peru.
Di luar dugaan, guru sekolah dasar ini berada di urutan pertama dalam pemungutan suara pada 11 April lalu, meskipun hanya menangguk kurang dari 20% suara keseluruhan. Hasil yang menakjubkan ini membuat Castillo mendapatkan tempat pada pilpres bulan Juni mendatang.
Ia bersanding melawan Keiko Fujimori, salah satu tokoh politik Peru paling mapan dan putri mantan presiden Alberto Fujimori. Bagi Fujimori, ini kali ketiga upayanya menjadi presiden.
Baca Juga: Mantan Presiden Sementara Bolivia Jeanine Áñez Ditangkap dengan Tuduhan Kudeta pada Morales
Pencalonan Castillo sebagai kandidat capres terjadi pada saat Peru mengalami masa yang bergejolak. Baru-baru ini, tiga presiden memerintah Peru dalam waktu sepekan setelah seorang presiden dilengserkan oleh kongres karena dituduh korupsi.
Selama 36 tahun belakangan, setiap presiden terjerat kasus korupsi, dan beberapa di antaranya dipenjara. Seorang meninggal bunuh diri sebelum polisi menangkapnya.
Fujimori sendiri sempat dibui sebagai bagian dari investigasi korupsi, meskipun ia kemudian dibebaskan. Ayahnya Alberto, yang memerintah antara tahun 1990-an dan 2000, tengah menjalani hukuman penjara 25 tahun karena korupsi dan membunuh 25 orang. Keiko berjanji akan membebaskan ayahnya jika ia terpilih sebagai presiden.
Castillo dan Fujimori, kedua kandidat ini menjalani kehidupan yang begitu berbeda secara dramatis.
Meskipun ayah Fujimori merupakan sosok di luar lingkar politik saat ia menjabat sebagai presiden Peru, Fujimori tumbuh dalam lingkup kekuasaan. Ia kuliah di Universitas Boston dan meraih gelar masternya dari Universitas Columbia di Amerika Serikat (AS). Ia kemudian menjadi ibu negara mendampingi ayahnya menjabat selama 6 tahun belakangan.
Sementara, Castillo adalah putra pasangan petani yang buta huruf. Castillo anak ketiga dari 9 bersaudara. Ia menyelesaikan pendidikannya di bidang psikologi pendidikan di Universitas Cesar Vallejo di Peru. Usai lulus, ia tinggal di distrik ketiga termiskin di Peru, dikelilingi pohon cemara, ladang jagung, babi dan sapi ternaknya.
Ia mengenakan poncho, topi jerami dan sandal yang terbuat dari ban bekas. Manakala ia berjalan melalui kawasan pedesaan, orang-orang menyambut dan menyalaminya.
Castillo mengusulkan untuk menasionalisasi sektor tambang, minyak dan energi. Ia juga berencana mendeportasi seluruh imigran ilegal yang melakukan tindak pidana kejahatan, sebuah langkah yang ditujukan bagi gelombang imigran asal Venezuela yang mencari suaka di Peru.
Castillo juga sempat mengungkapkan penentangannya terhadap pernikahan sesama jenis. Baginya, isu aborsi dan LGBT bukanlah prioritas.
Kesempatannya memberlakukan kebijakannya juga tidak jelas. Ia akan menghadapi kongres yang terpecah belah yang baru terpilih pada 11 April. Saat ini, partainya memiliki 37 kursi dan 130 kursi, meskipun penghitungan untuk menentukan berapa banyak kursi yang didapatkan masing-masing partai belum selesai.
Peluangnya memenangkan pilpres Juni mendatang melawan Fujimori terbilang besar. Castillo meraih 19% dukungan pada putaran pertama, sementara Fujimori hanya mendapat 13%, dan sisanya tidak memilih keduanya.
Usulan Castillo untuk menasionalisasi sektor-sektor ekonomi yang luas telah membuat khawatir banyak orang di Peru, termasuk beragam kepentingan bisnis.
Peraih Hadiah Nobel Sastra dari Peru, Mario Vargas Llosa, yang sejak lama mengkritik Keiko Fujimori dan ayahnya, memperingatkan bahwa Peru akan mengalami krisis seperti Venezuela jika Castillo menang. Ia menuliskan hal ini dalam sebuah kolom di harian El Pais pada Sabtu (17/4/2021).
“Ini bahaya yang belum pernah terjadi sebelumnya, putri yang benar-benar abai,” tulis Vargas Llosa, yang kalah dalam pilpres 1990 melawan Alberto Fujimori. Ia mendesak orang-orang agar mendukung Keiko Fujimori karena dinilai “kurang jahat”.
Siapapun yang memenangkan pilpres putaran kedua nanti, ia harus menghadapi pukulan ekonomi akibat pandemi, yang telah menyebabkan lockdown selama lebih dari 100 hari hingga membuat 7 juta orang menganggur.
Dibandingkan dengan mantan Presiden Bolivia Evo Morales – mantan pemimpin serikat buruh petani koka Bolivia – Castillo belum pernah memegang jabatan publik sebelum mencalonkan diri sebagai presiden. Morales sempat menjabat di Kamar Deputi Bolivia sebelum menjadi presiden.
Satu-satunya “jabatan politik” yang pernah diemban Castillo adalah memimpin aksi mogok para guru selama 55 hari demi upah yang lebih layak. Castillo merupakan guru desa yang aktif mengajar hingga 2020. Sembari menjalani masa kampanye, Castillo tetap melanjutkan pekerjaannya bertani di Chugur, ratusan kilometer dari ibukota Lima.
“Saat Anda meminta hak Anda, mereka bilang Anda teroris,” kata Castillo, tampaknya merujuk pada tuduhan yang dilontarkan sejumlah media Peru yang memiliki kaitan dengan kelompok pemberontak Maoist Shining Path di Peru.
“Saya mengenal negeri ini, dan mereka tak akan bisa membungkam saya,” tandas Castillo. “Teroris sebenarnya adalah kelaparan dan penderitaan, pengabaian, ketidaksetaraan, ketidakadilan.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.