ISLAMABAD, KOMPAS.TV - Dengan syal putih panjang di kepalanya, Rani Khan memberikan pelajaran mengaji setiap hari di madrasah transgender pertama di Pakistan, atau sekolah agama Islam, yang dia dirikan sendiri menggunakan tabungan hidupnya.
Seperti dilansir Reuters, Senin (22/03/2021) madrasah adalah tonggak penting kaum LGBTQ Pakistan yang kerap dicitrakan negara yang agamis namun kaku dan beku, di mana para transgender selalu dikucilkan dan dihinakan.
Tidak ada larangan resmi bagi kaum transgender untuk bersekolah di sekolah manapun, termasuk sekolah agama maupun beribadah di tempat ibadah sesuai agama masing-masing.
“Kebanyakan keluarga tidak menerima transgender. Mereka mengusir (anak-anak mereka yang transgender) dari rumah mereka. Orang-orang transgender lalu terjerumus ke perbuatan yang salah,” tutur Rani Khan yang berusia 34 tahun.
Sementara murid-muridnya yang juga transgender menggunakan kerudung bergoyang-goyang di belakangnya sambil belajar melantunkan dan membaca ayat-ayat kitab suci.
“Dulu saya juga salah satu dari mereka.”
Baca Juga: Pertama di Bangladesh, Seorang Transgender Dipekerjakan Stasiun TV Sebagai Presenter Berita
Hampir berderai air mata, Rani Khan ingat bagaimana dia tidak diakui oleh keluarganya di usia 13 tahun dan dipaksa mengemis.
Pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan sebuah kelompok transgender, bekerja dengan menari di pesta pernikahan dan acara lainnya.
Namun Rani Khan berhenti karena ingin terhubung dengan agamanya. Itu terjadi setelah Rani mendapat mimpi dimana seorang teman transgendernya dan sesama penari yang sudah meninggal, memohon padanya untuk melakukan sesuatu bagi komunitas mereka.
Rani lalu belajar Al qur'an di rumah dan bersekolah di sekolah agama sebelum membuka madrasah yang hanya memiliki dua kamar pada bulan Oktober tahun lalu.
Baca Juga: Sempat Dilarang Donald Trump, Transgender Diperbolehkan Joe Biden Gabung Militer
"Saya mengajar Al Qur'an untuk mendapat barokahNya, untuk kehidupan saya di sini (dunia) dan di akhirat," kata Rani, menjelaskan bagaimana madrasah menjadi tempat bagi orang-orang transgender untuk beribadah, belajar tentang Islam, dan bertaubat atas tindakan serta dosa-dosa di masa lalu.
Rani mengatakan sekolah yang dia dirikan belum menerima bantuan dari pemerintah, meski beberapa pejabat berjanji akan membantu para siswanya mendapatkan pekerjaan.
Dari hasil beberapa donasi, Rani mengajari siswanya cara menjahit dan menyulam, dengan harapan dapat mengumpulkan dana untuk sekolah dengan cara menjual pakaian.
Baca Juga: Polisi Malaysia Ikut Buru Nur Sajat, Transgender yang Muncul di Masjidil Haram
Parlemen Pakistan mengakui jenis kelamin ketiga pada tahun 2018, memberikan setiap individu hak-hak dasar seperti hak untuk memilih dalam pemilu dan hak untuk memilih jenis kelamin mereka pada dokumen resmi.
Meskipun demikian, transgender tetap terpinggirkan di Pakistan dan seringkali harus mengemis, menari dan melakukan prostitusi untuk mencari nafkah dan bertahan hidup.
Wakil Komisaris Islamabad Hamza Shafqaat mengatakan kepada Reuters, madrasah dapat membantu orang-orang transgender berasimilasi dengan masyarakat arus utama.
Baca Juga: Kisah Pasangan Transgender yang Memiliki Anak Biologis: Ingin Punya Anak Lagi
Sebuah sekolah agama untuk transgender telah dibuka di Dhaka, Bangladesh, dan tahun lalu sebuah kelompok transgender Kristen memulai gerejanya sendiri di Karachi, Pakistan.
Sensus Pakistan 2017 mencatat sekitar 10.000 transgender, meskipun kelompok hak transgender mengatakan jumlahnya sekarang bisa lebih dari 300.000 di negara berpenduduk 220 juta itu.
“Hati saya tenang saat membaca Alquran,” kata salah satu siswa madrasah, Simran Khan, yang juga ingin belajar kecakapan hidup.
"Ini jauh lebih baik daripada hidup yang penuh hinaan," tambah transgender berusia 19 tahun itu.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.