JAKARTA, KOMPAS.TV – Yang Qixiu, seorang guru wanita di Kabupaten Lancang, Provinsi Yunna, Cina Selatan harus rela hampir setiap hari hanya bisa bertemu anak laki-lakinya yang berusia tiga tahun melalui panggilan video.
Dari video yang dirilis Xinhua dengan judul 'Mom in the Cellphone', Yang Qixiu yang sibuk mengajar sebuah SD di desa Habuma, membuatnya tak mempunyai waktu untuk mengurus anaknya sendiri meski rumahnya hanya berjarak 200 meter.
“Ayo lakukan obrolan video!” ajak Yang Qixiu kepada anaknya.
“Ibu..” jawab si anak sambil meneteskan air mata.
“Jangan menangis.” bujuk Yang.
“Bu, kapan kamu akan kembali?” tanya si anak lagi.
“Segera, jangan menangis." jawab Yang sambil mencoba tegar.
Itulah percakapan yang biasa terjadi ketika Yang Qixiu melakukan panggilan video. Dia mengorbankan semuanya hanya demi bisa mengajar anak-anak etnis Lahu yang dulunya terikat garis kemiskinan.
Setiap pagi, Yang Qixiu bangun pagi-pagi sekali untuk mulai bekerja. Dia membangunkan anak-anak sekolah dan membantu mendandani mereka.
Setiap harinya, ia pulang sangat larut karena saking banyaknya pekerjaan di sekolah.
Yang Qixiu telah menjadi guru kelompok etnis Lahu selama 17 tahun. Ia bercerita, tujuh belas tahun lalu, desa ini masih sangat miskin.
Tidak ada cukup makanan untuk dimakan atau pakaian untuk dipakai anak-anak.
“Keluarga mereka sangat miskin. Siswa pergi ke sekolah tanpa alas kaki, situasi secara keseluruhan sangat, sangat sulit.” ujarnya.
“Di halaman belakang, papan basket yang digunakan masih terbuat dari kayu.”
“Dari bulan Juni hingga Juli, anak-anak tidak bisa mengikuti kelas olahraga, karena tempat bermainnya menjadi berlumpur dan sangat becek.” tambahnya lagi.
Yang Qixiu menuturkan, saat pertama kali datang ke sini, asrama yang digunakan untuk tinggal berada di dapur kecil dengan luas kurang dari enam meter persegi.
Melihat dirinya yang bekerja dengan keadan serba sulit, orang tuanya pernah menyarankan dia untuk pindah ke pekerjaan lain.
Tetapi ketika dia melihat sesama penduduk desa masih dalam kemiskinan, dia memutuskan untuk tetap tinggal.
“Saya lahir di pedesaan juga dan keluarga saya berada dalam situasi yang sama. Ketika saya masih pelajar, saya juga pergi ke sekolah tanpa alas kaki.” terang Yang.
“Saya sekarang jauh lebih baik setelah menerima pendidikan di sekolah. Saya akan melakukan apa yang saya bisa untuk anak-anak ini dan membantu mereka, mendorong mereka untuk memiliki kemauan yang kuat seperti saya sehingga mereka bisa mengucapkan selamat tinggal pada kemiskinan, dan memiliki masa depan yang lebih cerah." ucapnya.
Selama 17 tahun mengajar, Yang Qixiu yang kini menjabat kepala sekolah dasar desa itu mencoba untuk melakukan segala kegiatan yang bisa ia lakukan untuk membantu sekolah.
Selain mengajar bahasa Mandarin, dia membantu anak-anak untuk bercocok tanam di “peternakan kampus” dengan menanam berbagai macam sayuran, dan memelihara ayam, bebek, serta babi.
Banyaknya kegiatan itulah yang membuatnya harus mengorbankan keluarganya. Ia mengatakan sangat berhutang budi pada keluarga yang selalu memahami segala tujuan dari tindakan yang dilakukannya.
“Saya berhutang banyak kepada keluarga saya. Ketika anak-anak saya mulai tumbuh besar, saya sering meninggalkan rumah untuk sekolah lebih awal.”
“Saya juga berutang banyak kepada suami saya, karena beban menjalankan rumah tangga kami berada di pundaknya.”
“Saya bahkan lebih berhutang kepada orang tua saya karena saya hanya dapat mengunjungi mereka selama Festival Musim Semi.” tuturnya.
Perjuangan dan kesabaran Yang Qixiu yang ingin membawa desa tersebut keluar dari kemiskinan akhirnya membuahkan hasil.
Pada akhir tahun2019, dengan upaya dari Partai Komunis Tiongkok, seluruh etnis Lahu berhasil keluar dari kemiskinan.
Sekolah dasar desa Habuma, yang mayoritas diisi oleh siswa etnis Lahu, kini sudah tidak lagi seperti dulu.
Berbagai fasilitas sekolah telah direnovasi, dan taman bermain yang becek saat hujan sekarang terbuat dari beton.
Melihat semakin banyak anak memiliki masa depan yang lebih baik, Yang Qixiu bertekad untuk tetap tinggal di desa.
Ia ingin mendorong lebih banyak anak desa untuk percaya bahwa kerja keras adalah "senjata ajaib" untuk mengubah nasib mereka.
“Jika saya hanya sebuah “percikan”, saya harap apa yang saya lakukan bisa mencerahkan jalan bagi orang lain.”
“Saya ingin anak-anak percaya bahwa kemiskinan bukanlah alasan untuk terus tertinggal." tukas Yang Qixiu.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.