NAYPIDAW, KOMPAS.TV- Negara Myanmar masih genting lantaran adanya kudeta militer terhadap pemerintahan sipil. Militer Myanmar atau juga dikenal dengan sebutan Tatmadaw melakukan kudeta sejak 1 Februari 2021 lalu.
Ini merupakan kudeta ketiga kalinya yang dilakukan militer sejak negara itu merdeka dari pendudukan Inggris pada 1948 lalu.
Seperti dilansir dari The Indian Express, dahulunya negara Myanmar bernama Burma. Namun pada 1989, militer di negara itu mengubahnya menjadi Myanmar.
Baca Juga: Myanmar Minta India Kembalikan Polisi yang Kabur karena Menolak Tembaki Demonstran
Bukannya tanpa alasan pihak militer mengubah nama Burma menjadi Myanmar. Semua bermula ketika Inggris mencaplok apa yang sekarang menjadi Myanmar selama abad ke-19.
Orang-orang Inggris menyebut daerah yang dicaploknya dengan sebutan Burma berdasarkan kelompok etnik dominan, Burman.
Setelah itu, Inggris mengaturnya sebagai salah satu provinsi kolonial India. Pengaturan ini berlanjut hingga 1937 dan akhirnya Burma dipisahkan dari provinsi kolonial India dan dijadikan koloni terpisah.
Bahkan setelah negara itu merdeka pada 1948, negara itu tetap menggunakan nama peninggalan Inggris yakni Persatuan Burma.
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Thailand Vietnam Segera Jemput dan Evakuasi Warganya
Pada 1962, militer mengambil alih pemerintahan untuk pertama kalinya dan mengubah nama resminya pada 1974 menjadi Republik Sosialis Persatuan Burma.
Pada 1988 terjadi aksi protes massal yang membuat Jenderal Ne Win terguling dan posisinya digantikan oleh junta militer yang baru.
Insiden tersebut membuat kerusuhan berskala besar dan ribuan orang dilaporkan tewas.
Massa pun mengubah nama Republik Sosialis Persatuan Burma menjadi Persatuan Burma.
Tapi setahun kemudian, pada 1989, junta militer mengadopsi undang-undang yang mengubah nama negara itu menjadi Persatuan Myanmar.
Baca Juga: Myanmar Didesak Segera Bebaskan Wartawan yang Ditahan
Selain mengubah nama, junta militer mengubah nama ibu kota dari Rangoon menjadi Yangon. Namun pada 2005, ibu kota dipindah ke Naypyidaw.
Pergantian nama jadi kontroversial
Seperti yang juga diberitakan Kompas.com, Sabtu (6/3/2021), saat mengubah nama negara, militer mengatakan bahwa mereka berupaya meninggalkan nama yang diwarisi dari masa kolonial.
Selain itu, pihak militer juga berdalih perubahan nama itu untuk menyatukan 135 kelompok etnik yang diakui secara resmi, bukan hanya orang Burman.
Para pengkritik mengecam langkah tersebut dengan alasan bahwa Myanmar dan Burma memiliki arti yang sama dalam bahasa Burma.
Namun, Myanmar adalah cara yang lebih formal untuk menyebut Burma, sebuah kata yang digunakan dalam bahasa sehari-hari.
Baca Juga: Detik-Detik Demonstran Kudeta Myanmar Dihujani Gas Air Mata
Perubahan nama lain seperti Rangoon menjadi Yangon, hanya mencerminkan kesesuaian yang lebih besar dengan bahasa Burma, tidak lebih.
Selain itu, perubahan nama tersebut hanya terjadi dalam versi Bahasa Inggris. Para simpatisan pro-demokrasi mengatakan bahwa pergantian nama itu tidak sah karena tidak diputuskan oleh rakyat.
Akibatnya, banyak pemerintah di seluruh dunia menentang junta militer dan terus menyebut negara itu Burma dan ibu kotanya, Rangoon.
Nama Myanmar pun diterima
Pada 2010-an, rezim militer memutuskan transisi negara menuju demokrasi. Meski angkatan bersenjata tetap kuat, lawan politiknya dibebaskan dan pemilihan umum pun diizinkan.
Pada 2015, partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi memenangi mayoritas kursi di parlemen Myanmar.
Ketika debat Myanmar versus Burma menjadi kurang terpolarisasi, sebagian besar pemerintah asing dan organisasi internasional memutuskan untuk mengakui Myanmar sebagai nama resmi.
Baca Juga: 1.000 Lebih Warga Hadiri Pemakaman 3 Orang yang Ditembak Mati Saat Demo Kudeta Myanmar
Namun, banyak juga negara, seperti Australia, memutuskan untuk menggunakan Burma maupun Myanmar sebagai sarana untuk memberi sinyal dukungan bagi transisi demokrasi di dalam negeri dan pada saat yang sama mengikuti protokol diplomatik.
Suu Kyi, yang menjadi pemimpin de facto negara itu pada 2016, juga menyatakan dukungannya untuk menggunakan Myanmar atau Burma. Namun, tidak semua negara mengikutinya.
Salah satunya, Amerika Serikat yang tidak mau menyebut Myanmar dan tetap menyebut negara itu sebagai Burma.
Baca Juga: Sukarelawan Medis Ikut Dianiaya Aparat Myanmar
Hal itu ditegaskan Presiden AS Joe Biden saat memberi kecaman terhadap kudeta militer dengan menyebut negara itu sebagai Burma.
“AS mencabut sanksi terhadap Burma selama dekade terakhir berdasarkan kemajuan menuju demokrasi. Pembalikan kemajuan itu akan membutuhkan peninjauan segera terhadap undang-undang sanksi kami,” ujar Biden.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.