“Penerbitan ‘RUU’ ini merupakan bukti bahwa militer tidak hanya mencoba melakukan kudeta, tetapi juga menjalankan kekuasaan legislatif yang tidak semestinya untuk menindas masyarakat secara tidak sah,” tulis pernyataan itu, dikutip dari globalvoices.org.
“’RUU’ tersebut mencakup klausul yang melanggar hak asasi manusia termasuk hak atas kebebasan berekspresi, perlindungan data dan privasi, serta prinsip demokrasi dan hak asasi manusia lainnya di ruang online,” demikian isi pernyataan kelompok sipil Myanmar.
Kelompok hak asasi manusia salah satunya menyoroti kewajiban perusahaan teknologi informasi mengirimkan data pengguna jika aparat memintanya.
Federasi Komputer Myanmar juga menolak kebijakan tersebut. Pemerintah militer meminta federasi ini ikut meninjau RUU tersebut.
Federasi Komputer Myanmar menyarankan agar militer berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan. Mereka juga menambahkan, Anggota Parlemen terpilih harus menyusun RUU tersebut.
Vicky Bowman, Direktur Myanmar Center for Responsible Business, mengatakan kepada majalah Frontier bahwa RUU tersebut akan berdampak negatif pada operasi bisnis perusahaan teknologi informasi.
“Aturan seperti ini, yang tidak melindungi hak asasi manusia, mempersulit perusahaan-perusahaan untuk berkomitmen menghormati hak asasi manusia selama beroperasi di Myanmar, termasuk perusahaan yang menawarkan layanan daring,” kata Bowman.
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Internet Kembali Diputus, Tentara Berjaga di Jalanan untuk Hadapi Demonstran
U Aung Myo Min, Direktur Institut Pendidikan Hak Asasi Manusia Burma mengatakan kepada Myanmar Times bahwa undang-undang tersebut dapat melegitimasi kontrol militer atas dunia maya. “Kedengarannya lebih menindas daripada protektif. Sudah diduga tujuan sebenarnya dari RUU tersebut adalah untuk menekan kebebasan berekspresi online dan melarang jejaring sosial,” kata Myo Min.
Pemerintah militer Myanmar terus melakukan represi pada kelompok yang pemrotes ketika kudeta memasuki minggu kedua. Militer telah menangkap beberapa pengunjuk rasa, aktivis, dan jurnalis karena peran mereka dalam gerakan pembangkangan sipil ini.
Militer juga memblokir internet kembali pada Senin (15/2/2021). Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan muncul gelombang penangkapan massal lainnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.