Penduduk Yangon juga menyuarakan perlawanan dengan memukuli panci dan wajan di seluruh kota pada malam hari.
Baca Juga: Terdengar Suara Tembakan, Beberapa Pengunjuk Rasa di Myanmar Terluka Saat Unjuk Rasa
APA SAJA HAMBATAN PENGUNJUK RASA?
Salah satu tantangan terbesar bagi pengunjuk rasa adalah upaya militer untuk memblokir komunikasi.
Pihak berwenang pertama kali menghajar Facebook - yang memiliki lebih dari 22 juta pengguna di Myanmar, atau 40% dari populasi - tetapi setelah diblokir, pengguna sosial media beralih ke platform lain seperti Twitter.
Informasi yang berputar di kalangan pengguna sosial media yang berunjuk rasa adalah lembar informasi protokol keselamatan yang beberapa diantaranya berasal dari Hong Kong, berupa instruksi tentang cara mengenkripsi komunikasi dan protokol agar tetap aman selama unjuk rasa.
Selama akhir pekan, militer memblokir sementara akses internet dan beberapa layanan telepon.
Para pengunjuk rasa cepat beradaptasi, beberapa menggunakan telepon yang terdaftar di negara tetangga Thailand.
“Bahkan ketika internet benar-benar terputus pada hari Sabtu selama 24 jam, orang-orang dapat berkomunikasi di Myanmar melalui telepon dan SMS,” kata Clare Hammond, juru kampanye senior kelompok hak asasi Global Witness.
Bagi beberapa orang yang tidak punya telepon genggam atau akses internet selama pemadaman, mereka mengandalkan kabar dari mulut ke mulut dan preseden sejarah tentang lokasi unjuk rasa. Banyak jalur dan titik unjuk rasa yang sama seperti unjuk rasa tahun-tahun sebelumnya saat melawan kekuasaan militer.
Baca Juga: Junta Militer Myanmar Larang Kerumunan, Unjuk Rasa Jalan Terus di Yangon, Mandalay dan Naypyidaw
AKANKAH UNJUK RASA BERLANJUT?
Sejauh ini pengunjuk rasa tampak tidak terpengaruh, bahkan dengan pembatasan dan pelarangan terbaru bagi kerumnan orang, pengumpulan massa, dan aksi unjuk rasa.
Namun demikian, beberapa pihak prihatin junta militer sedang mengumpulkan alasan, bukti dan argumentasi untuk melakukan penumpasan seperti terhadap gerakan unjuk rasa 1988 dan 2007.
Linda Lakhdhir, penasihat hukum di Human Right Watch, mengatakan militer dapat saja menggunakan pelanggaran atas aturan yang berlaku tentang pembatasan kerumunan, atau alasan lain apapun untuk melakukan penumpasan dengan kekerasan.
"Mereka mungkin akan parah, kejam, menerapkan hukum besi, namun militer akan menjustifikasi itu semua karena mereka mengikuti hukum," katanya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.