Walau begitu, pemerintahan sipil itu harus memerintah dibawah konstitusi yang disusun mliter.
Di tahun - tahun Myanmar berada di bawah kediktatoran militer, Pagoda Sule selalu menjadi titik pusat pertemuan unjuk rasa yang menuntut demokrasi, terutama pada unjuk rasa besar tahun 1998 dan tahun pemberontakan tahun 2007 yang dipimpin kalangan biksu agama Buddha.
Militer menggunakan kekerasan untuk menghentikan unjuk rasa tersebut, yang diperkirakan memakan korban jiwa hingga beberapa ribu di tahun 1988.
Baca Juga: Indonesia dan Malaysia Desak Negara-Negara ASEAN Bicarakan Kudeta Myanmar
Dalam unjuk rasa kali ini, militer tidak terlihat menangani unjuk rasa. Di jalanan, pengunjuk rasa berhadapan dengan aparat kepolisian anti huru-hara dan sejauh ini dilaporkan tidak ada insiden bentrokan.
Pengunjuk rasa makin besar dan makin berani dari hari ke hari, dengan cara damai mendukung seruan pembangkangan sipil di seluruh negara.
Kebanyakan pengunjuk rasa mengusung spanduk yang menuntut pembebasan Suu Kyi dan Presidne Win Myint yang saat ini ditahan dan menjadi tersangka perkara sepele, yang dilihat hanya sebagai alasan dibuat-buat untuk menahan mereka.
"Kami hanya ingin menunjukkan ke generasi sekarang bagaimana generasi sebelum mereka berjuang ditengah krisis, yaitu dengan mematuhi panduan Ibu Suu (Aung San Suu Kyi), berlaku jujur, transparan, dan melakukan semua dengan damai," tutur Htain Linn Aung, seorang pengunjuk rasa berusia 46 tahun, yang setelah itu berteriak,"Kami tidak ingin diktator militer. Diktator militer akan jatuh,"
Baca Juga: Mahasiswa dan Dosen di Myanmar Turun ke Jalan Untuk Protes Kudeta
Berbagai laporan sosial media dan beberapa layanan berita Myanmar menyebut unjuk rasa terjadi di seluruh negeri, dengan unjuk rasa skala besar juga terjadi di Mandalay. Rakyat di sana berpawai naik motor bebek dan terus menerus membunyikan klakson mereka.
Sejak Sabtu, unjuk rasa terus membesar ke angka ribuan yang turun ke jalan, sementara masyarakat lain memukuli perabotan dapur mereka seperti wajan dan panji serta ember sekeras mungkin sebagai tanda protes atas tindakan militer.
Aparat memutuskan akses ke internet sekaligus pada hari Sabtu, namun masyarakat menemukan celah sehingga kabar bisa menembus keluar Myanmar, namun pada saat yang sama memunculkan kekuatiran bahwa militer akan mematikan total seluruh sambungan internet.
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Namanya Burma atau Myanmar sih? Nah Ini Penjelasannya
Sosial media seperti Facebook dan Twitter sudah beberapa hari diblokir, namun sebagian tetap bisa diakses.
Netblocks, lembaga berbasis di Inggris yang kerjanya memantau gangguan internet memastikan ada pemulihan sambungan internet pada hari Minggu namun sosial media tetap diblokir. Mereka mengingatkan hal itu mungkin sementara,
Pemutusan arus informasi dan komunikasi adalah pertanda bahaya atas berbagai kemajuan yang dicapai Myanmar. Selama beberapa dekade berada dibawah pemerintahan militer, negara itu terisolasi secara internasional dengan komunikasi keluar sangat dibatasi.
Anggota parlemen hasil pemilu November kemarin dari partai NLD yang dipimpin Suu Kyi mendeklarasikan bahwa merekalah wakil sah dari seluruh rakyat Myanmar dan meminta pengakuan internasional atas pemerintahan sipil mereka.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.