“Saya ingat membaca kabar itu, dan mengiranya sebagai sebuah lelucon. Saat menyadari bahwa kabar itu bukan lelucon, jantung saya berdebar kencang dan nafas saya terasa berat,” kenangnya.
Butschek mengingat, saat itu, ia merasa begitu kesepian dan terisolasi, namun mengakui bahwa ia cenderung menyukai kesendirian saat merasa emosional.
“Saya minum bir untuk mengenang sahabat saya,” kisah Butschek, mengisahkan dirinya duduk sendirian di tempat tidurnya setelah seharian bekerja keras membersihkan pantai.
Berada dalam karantina pekan lalu, Butschek melongok keluar jendela dari kabinnya di Honolulu dan menyaksikan anak-anak sekolah bermain lempar batu dan memanjat pohon – semua mengenakan masker. Ini mengingatkannya pada film-film akhir jaman.
“Buat saya, ini tidak normal. Tapi buat yang lainnya, yah, inilah yang mereka lakukan sekarang. Ini hidup mereka sekarang,” ujarnya.
Ahli biologi kehidupan liar Naomi Worcester dan pasangannya, Matthew Saunter, memimpin tim ekspedisi Kure.
Worcester pertama kali mengunjungi Kure tahun 2010 silam dan selalu kembali ke pulau karang ini saban tahun. Ia berpengalaman menjadi bagian tim lapangan di daerah-daerah terpencil di Alaska, Washington, Wyoming, dan pegunungan Sierra Nevada.
Tinggal dan bekerja di Kure, Worcester bilang, berarti mendapat informasi tentang apa yang terjadi di belahan dunia yang lain dengan lambat, atau kerap, tidak sama sekali.
Beberapa pekan lalu, ia meninggalkan Kure dan tiba di Midway Atoll, tempat ia dan anggota kru yang lain tinggal selama beberapa hari sebelum terbang kembali ke Honolulu. Di Midway, akses internet terbatas dan hanya ada televisi kabel. Ia ingat menyalakan televisi saat tengah duduk sendirian.
“Saya pikir saya menyalakan televisi saat berita tentang dunia ditayangkan,” ia berkisah. “Beberapa orang mengenakan masker, dan yang lainnya tidak. Lalu ada berita tentang seseorang yang positif virus dan semacamnya. Buat saya, ini terlalu berlebihan. Saya kewalahan!”
Fokusnya dalam beberapa bulan ke depan adalah mengatur ekspedisi Kure untuk musim panas tahun depan. Namun, ia juga khawatir akan keselamatan dan kesehatan teman-teman dan kerabatnya.
“Jika ada sesuatu yang serius menimpa mereka saat saya pergi, mereka mungkin akan mengabari saya. Tapi mungkin juga, tidak,” ujarnya.
Ia juga mengkhawatirkan dampak pandemi dalam lingkup yang lebih besar.
“Dengan banyak ketidakpastian dan emosi yang memuncak, negara kita terpecah belah… Ada ketakutan tentang sejauh mana masa depan akan bertahan dan bagaimana orang-orang akan bereaksi.”
Baca Juga: Ombak Buatan Dibuat untuk Berselancar di Pantai Hawaii
Sementara, Saunter sudah bekerja dalam ekspedisi Kure sejak tahun 2010, tahun yang sama saat ia bertemu dengan Worcester dan mulai berkencan dengannya. Sejak itu, mereka menjadi pasangan dan tinggal bersama.
Tahun 2012, mereka mulai memimpin tim lapangan pada ekspedisi Kure.
Ditempa hidup terpencil bertahun-tahun di Kure, menurut Saunter, membuat isolasi bukan hal baru baginya. Ia yakin, keahlian memimpin yang ia pelajari di alam bebas dapat ia pergunakan di kehidupan nyata selama pandemi.
Untuk bisa sukses di Kure, katanya, “Anda harus menangani masalah secara langsung dan mengendalikan emosi Anda.”
“Saat emosi, orang-orang tak dapat berpikir jernih, dan ini merugikan semua orang, jadi sangat tidak bertanggung jawab," katanya. "Jika kita menanggapinya dengan lebih serius dan mempraktekkan lebih banyak pencegahan, kita bisa menghentikannya."
Saunter juga masih ingat saat saudara perempuannya mengabarinya tentang pandemi.
"Saya menerima surel dari saudara perempuan saya dan ia menggunakan kata ini: pandemi," ujarnya. "Saya berkata pada diri saya sendiri, “Hah, mungkin saya harus lihat kamus, karena saya tak tahu, apa sih bedanya pandemi dan epidemi?”
“Tapi sekarang, kata ini digunakan oleh semua orang.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.