Diundangnya Marja sebagai pembicara dalam acara ini bukan tanpa alasan. Ia merupakan anggota parlemen perempuan Selandia Baru, yang memiliki darah Indonesia. Marja lahir di Belanda, dari orangtua yang merupakan orang Indonesia. Ayah Marja lahir di Sumatra Barat.
Dalam diskusi ini, Marja menunjukkan foto bagaimana suasana kerja di parlemen Selandia Baru. Dalam foto, tampak anggota parlemen perempuan membawa bayi ketika sedang melakukan sidang parlemen. Bahkan dalam salah satu foto, terlihat Ketua Parlemen Trevor Mallard, sedang memberi susu kepada seorang bayi pada saat sidang parlemen.
Sebelumnya, Perdana Menteri Jacinda Ardern membuat sejarah dengan menjadi Perdana Menteri pertama di dunia dalam 30 tahun terakhir, yang melahirkan ketika sedang menjabat. Setelah melahirkan, dia kemudian kembali bekerja di kantor, sedangkan pasangannya Clarke Gayford bertindak sebagai ayah yang mengasuh anak di rumah.
Jacinda bahkan pernah terlihat membawa bayinya dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York tahun 2018.
“Di Asia Tenggara, perempuan juga pernah menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan. Seperti yang kita lihat di Indonesia, Filipina, Thailand, Singapura, dan Myanmar. Namun, masih ada ruang untuk mengejar kesetaraan gender yang lebih besar di negara kita masing-masing dan (meningkatkan) faktor-faktor untuk membantu memajukan agenda ini,” ujar Ketua Dharma Wanita Persatuan KBRI Wellington, Dewi Yahya.
Dewi Yahya melanjutkan, budaya dan tradisi dapat bekerja sama dengan nilai-nilai modern untuk mencapai tujuan itu. Misalkan tempat kelahiran orang tua Marja di Sumatra Barat, dikenal sebagai tempat dengan tradisi matrilineal terbesar di dunia. Masyarakat Minangkabau terbiasa dengan tradisi matrilineal yang memungkinkan perempuan tampil sebagai pemimpin.
“Mungkin bukan suatu kebetulan bahwa banyak tokoh perempuan Indonesia juga berasal dari bagian itu (Sumatra Barat), sehingga nanti bisa kita telusuri bagaimana nilai-nilai tradisional akan berkontribusi pada program pemberdayaan perempuan nasional,” ujar Dewi Yahya.
Dalam diskusi ini, Marja menyebutkan, perempuan memiliki kelebihan sebagai pemimpin. “Kelebihan perempuan adalah lebih kolaboratif dan memiliki banyak jaringan,” ujar Marja.
Mengenai kuota perempuan di parlemen, Marja mengingatkan bahwa yang perlu kita perhatikan bukan hanya kuantitas dari kuota perempuan, tetapi juga kualitasnya.
“Jika ada 50% kuota untuk perempuan di parlemen, apakah jumlah itu benar-benar diduduki oleh perempuan yang mampu untuk berada di posisi itu? Kita jangan hanya berbicara tentang jumlah, tapi juga tentang orang yang tepat untuk berada di posisi yang tepat, ujarnya.
Duta Besar RI untuk Selandia Baru Tantowi Yahya, yang sejak awal memperhatikan diskusi dari kursi bagian belakang ruangan, akhirnya ikut berbicara di penghujung diskusi.
Menurut Dubes Tantowi, ada empat atribut yang melekat pada perempuan, yang membuat mereka menjadi pemimpin yang baik.
“Keempat kelebihan perempuan adalah, mereka memiliki kemampuan untuk mendengar dengan baik. Perempuan mampu mendengar pendapat orang lain, bahkan hingga berjam-jam lamanya. Kedua, perempuan memiliki kemampuan untuk mengamati. Ketiga, perempuan lebih sabar. Dan keempat, perempuan memiliki pemikiran serta perhatian yang baik,” ujarnya.
Perempuan-perempuan seharusnya tumbuh dalam lingkungan yang penuh kesetaraan. Pekerjaan besar yang harus kita lakukan adalah melepas stereotype usang, tentang perempuan yang baik seharusnya hanya berada di rumah untuk mengurus keluarga. Sebaliknya, perempuan berhak diberikan kesempatan dan lingkungan yang mendukung, untuk mengejar karir yang dicintainya.
Kita membutuhkan lebih banyak anggota parlemen yang bisa mendengarkan aspirasi masyarakat. Kita membutuhkan pemimpin yang sabar dan mampu mengamati persoalan di sekitarnya. Kita membutuhkan lebih banyak perempuan yang duduk di posisi yang tepat dalam sistem politik kita.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.