Kompas TV entertainment selebriti

Belajar dari Kasus Starbucks, Ernest Prakasa: Manusia Bisa Kontrol Nafsu, Binatang?

Kompas.tv - 4 Juli 2020, 07:52 WIB
belajar-dari-kasus-starbucks-ernest-prakasa-manusia-bisa-kontrol-nafsu-binatang
Ernest Prakasa (Sumber: Kompas.com)
Penulis : Ade Indra Kusuma

KOMPASTV - Ernest Prakasa kembali mengungkapkan rasa geramnya saat melihat aksi pelecehan seksual yang terjadi di gerai Starbucks dari CCTV.

Kejadian itu viral di media sosial, setelah pegawai Starbucks sengaja mengintip bagian payudara pelanggan melalui CCTV. Video itu diunggah oleh pengguna Twitter bernama @LisaAbet, Rabu (1/7/2020).

Dalam kolom komentar akhirnya muncul perdebatan sengit antara yang menaruh rasa iba terhadap korban dan yang menyalahkan korban.

Para pembela tersebut berdalih jika bukan hal salah pelaku yang melakukan tidak pelecehan, karena korban pun memakai pakaian yang terbuka.

Satu diantaranya komentar dari @toiletforchill. 

"Nih ya mba. Mnrt gua, CCTV kan emang ada yg kontrol. Dikontrolnya pake mata. Ya kalo mata gak sengaja liat payudara dr baju yg kebuka ya wajarlah, wong bajunya juga kebuka," tulisnya.

Rupanya, pendapat-pendapat itulah yang membuat Ernest Prakasa merasa geram dengan oknum yang memberikan pembelaan terhadap tindak pelecehan seksual.

Melalui video Instagram TV yang diunggah Kamis (2/7/2020), Ernest Prakasa coba menguraikan pendapatnya terkait masalah tersebut.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Ernest Prakasa (@ernestprakasa) on

Menurutnya, pakaian seharusnya tidak menjadi alasan orang berbuat asusila.

Sebab, menurut data yang ia peroleh, justru orang dengan berpakaian tertutup, longgar, bahkan berhijab sekalipun bisa menjadi korban pelecehan.

Ernest Prakasa menganggap tidak ada yang perlu dibenarkan dari tindakan asusila yang dilakukan oleh pelaku.

"Yang pertama gue mau kasih data dulu. Jadi kalau lo berpikir bahwa perkosaan, kekerasan seksual itu identik dengan pakaian terbuka, elu salah. Secara data itu salah. Ini bukan argumen secara perspektif, tapi kita lagi ngomongin statistik. Dari beberapa LSM, dari Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, dan Jakarta Feminist Discussion Group, mereka bikin riset bareng.

Respondennya 62 ribu perempuan seluruh Indonesia, cukup banyak teman-teman.

Dan hasil risetnya apa?

Dari 62 ribu orang ini 14% mengalami insiden saat mereka menggunakan pakaian longgar, tidak ketat, tidak menunjukkan lekuk tubuh, longgar itu 14%, 18% mengenakan celana panjang dan rok panjang, nggak pamer paha, nggak pake rok mini," buka Ernest.

"Dan ini yang paling menarik menurut gue, 17% menggunakan hijab.Jadi kalau selama ini lo mikir bahwa kekerasan seksual itu identik dengan pakaian yang seksi yang mengumbar bentuk tubuh, ternyata tidak. Jadi ternyata karena apa kalau bukan karena pakaiannya korban? Ya karena otak pelaku. Ya pelakunya yang salah, titik gitu lho," ungkapnya.

Di poin selanjutnya, Ernest Prakasa juga tidak setuju dengan analogi yang dipakai untuk membela pelaku.

Seperti ungkapan 'tak ada asap jika tak ada api' dan 'ada gula ada semut' yang kerap digunakan para pelaku untuk membela diri.

Menurutnya, ungkapan itu tidak bisa disamakan dengan kasus pelecehan seksual sebab dua ungkapan tersebut adalah reaksi alamiah.

"Yang kedua adalah soal tadi, analogi nggak ada asap kalau nggak ada api, ada gula ada semut. Pertama-tama nggak ada asap kalau nggak ada api, itu kan reaksi kimia ya, alami gitu. Tapi pokoknya itu terjadi dengan sendirinya gitu, tidak ada proses decision making di situ! Ada gula ada semut, ya itu insting untuk survive. Dia butuh gula buat makan gitu.Sekarang misalnya, ada cewek seksi terus ada cowok terangsang, salah si cowoknya? Menurut gue enggak karena itu natural. Itu insting. Tapi pertanyaannya, follow up-nya apa? Apa yang dilakukan sama si cowok ini?

'Wah seksi banget, napsu gue', trus apa?

Ini yang ngebedain manusia ama binatang nggak sih? Decision making ini ada proses pengambilan keputusan berdasarkan logika, berdasarkan hati nurani. Kita tau apa yang boleh dan apa yang enggak gitu. Ada batasan antara yang baik dan yang buruk. Norma, moral, etika, itu kan yang nggak ada di binatang sebenernya," jelas Ernest Prakasa.

Di penghujung video itu, Ernest Prakasa mengaku tak bisa mencabut pola pikir yang demikian.

Tetapi, ia memohon agar orang dapat menangkap pesan yang ia maksud untuk sama-sama belajar tentang isu ini.

Bahkan, ia meminta agar pembelajaran itu kelak bisa dibagikan kepada anak cucu kita agar membentuk pola pikir yang tidak lagi menyudutkan korban dalam kasus pelecehan seksual.

"Jadi, kita ini hidup di masyarakat yang cukup patriarki, jadi gue cuman pesen please, do educated your self, cari tau. Dan gue udah pasrah sama generasi di atas, soal ini. Maksudnya persepsi-persepsi ini susah banget ngerubah orang kalau udah terlalu jadi gitu pola pikirnya.

Tapi, kita masih bisa ngerubah generasi di bawah.

So, if we can educated our self and we can educate for our children, our boys, then we can make a better world," tutup Ernest Prakasa.




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x