Pencarian tanah baru bersama para pengikutnya dilakukan berbulan-bulan melewati lembah dan rawa-rawa. Namun laut yang mereka cari tak ditemukan, hingga Jose dan para pengikutnya memutuskan membangun desa dekat sungai berair jernih. Desa yang kemudian diberi nama Macondo, berdasarkan mimpinya, yang tak pernah punya arti bahkan tak dikenal dalam bahasa mereka.
Desa yang awalnya sepi tiba-tiba menjadi ramai setelah kedatangan kaum gipsi yang dipimpin Melquiades (Moreno Borja). Melquiades memperkenalkan keajaiban instrumen sains seperti magnet yang bisa menarik besi, bahan kimia yang disebutnya memberi keabadian, kompas, peta, kaca pembesar yang mampu membakar setelah diarahkan ke titik api hingga fotografi yang disebut mengabadikan waktu.
Jose benar-benar terpukau dan tergila-gila dengan semua barang tersebut yang membuatnya banyak mengabaikan istri dan anak-anak yang mulai tumbuh dewasa. Dia menyibukan diri di laboratorium yang khusus dia buat sendiri.
Hingga pada satu titik Jose kehilangan kesadaran dan mengamuk. Istrinya sampai mengikat tubuh suaminya di pohon kastanya depan rumah selama berbulan-bulan. Jose baru dilepaskan dari ikatan yang membelitnya setelah anak kedua yang sedang berperang, Aureliano Buendía, menyampaikan firasat lewat secarik surat bahwa sang ayah akan segera mati. Firasat itu benar terjadi. Namun desa yang mereka bangun sudah berbeda, perang mengancam.
Sutradara film, Alex García López dan Laura Mora, cukup setia mengikuti alur dari novel yang terbit pertama kali di Argentina ini. Termasuk beberapa narasi dan kalimat yang tercantum dalam novel. Film delapan episode ini dibantu oleh narator untuk menjelaskan setiap adegan sehingga penonton tidak kehilangan rangkaian cerita. Gambar dalam film, musik pengiring, hingga lanskap hutan dan desa, berhasil menghadirkan realisme magis yang menjadi ciri kekuatan novel Marquez.
Baca Juga: Sinopsis Film "1 Kakak 7 Ponakan", Ketika Moko Jadi Orangtua Tunggal bagi Keponakan
Aureliano kecil yang pandai membaca firasat, saudara perempuan yang suka makan tanah kala gelisah, dan kematian yang digambarkan lewat ceceran darah mengular melintasi rumah dan kamar, cukup mewakili gambaran magis itu. Termasuk hadirnya orang mati yang ditombak, yang terus datang sambil memegangi lehernya yang berdarah.
Konflik dalam keluarga yang dipicu persoalan asmara, kelahiran anak yang tak diinginkan sampai kejengkelan Ursula pada suaminya, mewarnai sepanjang film. Latar belakang film, yang diperkirakan awal abad 20, dengan model rumah, pakaian dan suasana hutan memperkuat gambaran Amerika Latin kala itu.
Beberapa tahun silam, saat film ini dalam tahap rencana, Marquez awalnya menolak. Dia khawatir unsur realisme magis yang menjadi kekuatannya tidak akan tampak dengan meyakinkan. Tapi dua putra Marquez, Rodrigo Garcia dan Gonzalo Garcia Barcha, yang menjadi produser eksekutif, memastikan hal itu bisa dilakukan.
"Tetapi di masa keemasan serial seperti sekarang ini, yang penuh dengan bakat hebat di bidang penulisan skenario dan penyutradaraan, demikian juga tingginya kualitas sinematis, ini adalah saat yang paling tepat," kata Garcia seperti dilansir The Guardian pada 2019 silam.
Novel yang mengantarkan penulisnya meraih Nobel pada 1988 itu, berhasil dihidupkan lewat berbagai adegan dan suasana yang cukup meyakinkan. Imajinasi Gabriel Garcia Marquez dalam teks, bisa dinikmati lewat tayangan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.