Kompas TV entertainment film

Kisah Bangkitnya Bioskop Independen di Los Angeles, Peluang dan Inspirasi Investasi di Indonesia

Kompas.tv - 29 September 2024, 23:05 WIB
kisah-bangkitnya-bioskop-independen-di-los-angeles-peluang-dan-inspirasi-investasi-di-indonesia
Penggemar film Miles Villalon berpose di dekat tenda bioskop kebangkitan New Beverly Cinema, Jumat, 9 Agustus 2024, di Los Angeles. (Sumber: AP Photo)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Vyara Lestari

LOS ANGELES, KOMPAS.TV — Suatu malam musim panas yang panas, Miles Villalon sudah berdiri di antrean New Beverly Cinema, beberapa jam sebelum film dimulai. Pria berusia 36 tahun itu sudah memegang tiket untuk dua film bertema Watergate, All the President’s Men (1976) dan Dick (1999). Namun, ia tetap rela menghadapi kemacetan Los Angeles demi mendapatkan kursi terdepan di bioskop bersejarah milik Quentin Tarantino.

Dedikasi seperti ini sudah menjadi kebiasaan bagi Villalon, seorang barista Starbucks dan calon sutradara, yang biasa menonton hingga enam film per minggu, hampir semuanya di bioskop independen di sekitar Los Angeles.

"Rasanya seperti pergi ke gereja," kata Villalon. "Kalau saya pergi ke AMC (jaringan bioskop AS), saya cuma duduk di sana. Saya tidak merasakan pengalaman komunal seperti di sini, di mana kami semua seolah terpana di altar seluloid."

Layanan streaming dan pandemi memang telah mengubah cara orang menonton film. Namun, Villalon termasuk dalam kelompok anak muda yang semakin bertambah jumlahnya, yang berkontribusi pada kebangkitan bioskop independen di Los Angeles. Sebagai pusat industri film dunia, kota ini masih membentuk preferensi hiburan penduduknya, apalagi setelah pandemi membuat orang semakin menghargai pengalaman menonton film secara langsung.

Baca Juga: Keren! Kala Siswa SDN Purwantoro Produksi Film dan Tayangkan Karya di Bioskop Mini

Orang-orang tampak di luar gedung bioskop Cinerama Dome, Senin, 12 April 2021, di Los Angeles. (Sumber: AP Photo)

Kebangkitan Bioskop Bersejarah di LA

Los Angeles memiliki banyak teater bersejarah yang telah diselamatkan dari penutupan atau dihidupkan kembali oleh mereka yang memiliki hubungan dengan industri film. Banyak bioskop independen di kota ini justru berkembang, memberikan pengalaman unik bagi penonton yang tidak bisa ditemukan di bioskop besar.

Dengan fenomena kebangkitan bioskop independen di Los Angeles, ada peluang besar bagi para investor di Indonesia untuk mempertimbangkan investasi serupa di dalam negeri.

Sebagai negara dengan populasi muda yang besar, Indonesia memiliki potensi pasar bioskop independen yang belum tergarap, mungkin belum tersentuh sama sekali.

Bioskop independen di Los Angeles menunjukkan, lewat pengelolaan yang tepat dan program yang unik, bioskop independen bisa sukses secara finansial dan punya basis penonton yang loyal dari segala umur. 

Berdasarkan data dari Asosiasi Eksibitor Bioskop Amerika Serikat, banyak bioskop independen di Los Angeles yang bertahan dan bahkan berkembang, meskipun menghadapi tekanan dari bioskop besar dan layanan streaming. Hal ini membuka jalan bagi konsep serupa untuk diterapkan di Indonesia, terutama di kota-kota besar yang memiliki kultur film yang berkembang, seperti Jakarta, Bandung, Bali, Solo, dan Yogyakarta.

Kate Markham, direktur pengelola Art House Convergence, sebuah koalisi bioskop independen, mengatakan keberhasilan bioskop-bioskop ini sangat bergantung pada pengelolaannya.

"Mereka sangat mengenal audiens mereka dan mengkurasi program yang memberikan pengalaman luar biasa bagi penontonnya," tulisnya dalam surel.

Salah satu pelopor kebangkitan bioskop independen ini adalah Quentin Tarantino. Pada tahun 2007, ia membeli New Beverly Cinema, dan kini bioskop tersebut menjadi salah satu tempat favorit para penggemar film.

Netflix juga membeli dan merestorasi Egyptian Theater, yang pertama kali dibuka pada tahun 1922 sebagai bioskop film bisu, dan membuka kembali teater ini untuk umum pada November lalu, bekerja sama dengan American Cinematheque. Kini, bioskop ini menjadi pusat kegiatan yang sibuk, sering kali menampilkan premier film dengan kehadiran selebriti papan atas, serta pemutaran film maraton seperti empat film Paul Thomas Anderson yang baru-baru ini ditayangkan.

Di bagian timur Los Angeles, terdapat Vidiots, yang dulunya adalah toko video di Santa Monica. Setelah tutup pada tahun 2017, Vidiots dibuka kembali lima tahun kemudian di lokasi baru dengan teater berkapasitas 271 kursi, bar, dan komunitas penonton baru yang setia.

"Saya benar-benar merasa tempat ini adalah favorit saya selain rumah saya sendiri," kata sutradara dan aktor Mark Duplass, salah satu pendukung finansial Vidiots bersama beberapa nama besar seperti Aubrey Plaza dan Lily Collins.

Baca Juga: Festival Sinema Prancis 2023 Digelar, Tampilkan Lebih dari 19 Film di 14 Kota Seluruh Indonesia!


Daya Tarik Bioskop Independen

Banyak hal yang menarik penonton untuk kembali ke bioskop independen, mulai dari pemutaran film klasik hingga harga tiket yang lebih terjangkau. Namun, yang paling disukai adalah suasana komunal yang tidak bisa ditemukan di bioskop besar.

"Tempat-tempat besar memang punya format premium, tapi saya rasa di sana kurang ada rasa kebersamaan," kata Dr. Michael Hook, yang datang ke Vidiots untuk menonton film Seven Samurai bersama rekannya dari Rumah Sakit Anak Los Angeles.

"Di sini, kita berada di antara orang-orang yang memilih menonton film Jepang dari tahun 1950-an selama tiga jam."

Meskipun pandemi sempat memberikan pukulan besar bagi bioskop, menurut Janice O’Bryan, wakil presiden senior Comscore, hal ini juga membantu industri film menemukan keseimbangannya di era streaming.

"Pandemi membantu menutup bioskop-bioskop yang memang sudah tidak bisa bertahan," katanya. Lebih dari 500 bioskop di seluruh AS telah tutup. "Saya pikir, ini membuat industri lebih sehat."

Bioskop yang bertahan kini menemukan cara baru untuk menarik penonton, tanpa mengandalkan fasilitas mewah seperti kursi rebah dan layanan makan di dalam bioskop.

"Untuk jenis film yang kami tayangkan, saya jelas tidak ingin ada pelayan yang berjalan-jalan, membawa makanan, dan suara sendok garpu di atas piring," kata Greg Laemmle, yang bersama keluarganya telah mengelola Laemmle Theatres, salah satu bioskop independen tertua di Los Angeles selama hampir satu abad.

Investasi di bioskop independen dapat menawarkan model bisnis yang menarik dan menguntungkan, terutama jika dipadukan dengan konsep hiburan yang berfokus pada komunitas. Seperti yang terlihat di Vidiots, sebuah bioskop independen di Los Angeles yang dulunya merupakan toko video, penambahan fasilitas seperti kafe dan area sosial dapat menarik lebih banyak penonton dan menciptakan pengalaman yang lebih menyeluruh.

Namun, Laemmle juga menyadari pentingnya memberikan lebih dari sekadar popcorn dan soda kepada penonton, terutama sebagai tambahan pendapatan. Menyediakan makanan dan minuman enak dengan harga terjangkau dan ruang berinteraksi bisa mengubah bioskop menjadi tempat tujuan yang menarik.

"Saat pergi ke bioskop, biasanya saya datang dua menit sebelum film dimulai," ujar Duplass. "Tapi di Vidiots, saya datang 45 menit lebih awal. Saya bisa beli permen Junior Mints dingin, minum di bar, bertemu teman, dan berkeliling di toko video."

Pada bulan Februari, lebih dari 30 sutradara ternama seperti Jason Reitman, Steven Spielberg, Denis Villeneuve, dan Christopher Nolan membeli Village Theater di Westwood untuk melestarikannya. Teater ini juga akan dilengkapi dengan restoran, bar, dan galeri seni.

Konsep serupa bisa diterapkan di Indonesia, di mana bioskop independen dapat menawarkan lebih dari sekadar menonton film. Penggabungan elemen sosial seperti restoran, galeri seni, dan ruang diskusi film bisa menjadi daya tarik yang kuat bagi penonton muda yang mencari pengalaman yang berbeda dari bioskop komersial.

Baca Juga: Film Oppenheimer Bakal Jadi Blockbuster dengan Sinematik Luar Biasa


Tantangan yang Terus Dihadapi

Seperti bioskop di seluruh AS, bioskop di Los Angeles juga menghadapi tantangan akibat pandemi, termasuk kurangnya film yang tersedia karena pemogokan industri film. Tidak semua bioskop berhasil menemukan penyelamat seperti Tarantino atau Reitman.

Penutupan Cinerama Dome pada April 2021 menjadi kehilangan besar bagi penggemar film di Los Angeles. Meskipun dimiliki oleh ArcLight Cinemas ketika tutup, Dome telah menjadi simbol Hollywood dan sering digunakan untuk premier film. Namun, masa depan Dome masih belum jelas, meskipun perusahaan induknya, Decurion Corporation, mendapatkan izin menjual minuman keras di multiplex tersebut pada tahun 2022.

Banyak bioskop yang bertahan dengan bantuan dana seperti program federal Shuttered Venue Operators Grant senilai $16 miliar, yang digunakan Laemmle selama pandemi. Meski begitu, pemulihan penuh masih berjalan lambat.

"Dana ini memberikan stabilitas sementara, tapi masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi," ujarnya. "Situasi masih belum jelas."

Baca Juga: Menang di Melbourne, Film PURUN Kembali Menang di London Fashion Film Festival 2024

Pejalan kaki berkumpul di bawah tenda Vista Theatre, Jumat, 2 Agustus 2024, di Los Angeles. (Sumber: AP Photo)

Apakah Kebangkitan Ini Hanya Terjadi di Hollywood?

Menurut Bryan Braunlich, direktur eksekutif National Association of Theatre Owners Cinema Foundation, kebangkitan bioskop independen di Los Angeles mungkin dipengaruhi oleh sejarah dan budaya kota ini, yang penuh dengan bioskop bersejarah. Tarantino mungkin tidak akan membeli bioskop yang hampir tutup di Peoria, Illinois, namun menurut Braunlich, hal ini tetap bisa berdampak di kota-kota lain.

"Para pembuat film di Hollywood berkata, 'Bioskop itu penting,'" ujarnya. "Ada banyak pemilik bioskop independen yang berhasil di seluruh negeri, dan saya pikir ini memberi mereka semangat untuk terus berkarya dan berkembang."

Duplass pun mengenang pengalamannya menonton film Raising Arizona bersama orang tuanya di Vidiots. "Waktu itu, saya masih kecil, dan sekarang usia saya sama seperti usia orang tua saya ketika pertama kali menonton film itu bersama di bioskop. Saya bisa menggenggam tangan ayah saya saat kami menangis di adegan terakhir," katanya. "Kami tidak hanya berbagi film, tapi juga berbagi perjalanan waktu di tempat favorit kami, yaitu bioskop."

Baca Juga: Marcella Zalianty Ingin Angkat Kisah Laksamana Malahayati Jadi Film

Penonton menunggu pemutaran perdana film Biosphere, Selasa, 27 Juni 2023, di Eagle Theatre di Vidiots Foundation di Los Angeles. (Sumber: AP Photo)

Inspirasi Investasi Jangka Panjang Berbasis Idealisme yang Penuh Cuan di Indonesia

Dengan kebangkitan bioskop independen di Los Angeles sebagai contoh, para investor di Indonesia memiliki peluang besar untuk berkontribusi pada industri hiburan yang sedang berkembang. Penonton muda di Indonesia terus mencari pengalaman hiburan yang lebih personal dan bermakna, dan bioskop independen bisa menjadi jawaban bagi kebutuhan ini.

Selain itu, dengan semakin banyaknya film Indonesia yang mendapat pengakuan internasional, bioskop independen bisa menjadi platform untuk memperkenalkan karya-karya sutradara lokal kepada penonton yang lebih luas. Kombinasi antara program film yang beragam, pengalaman komunal yang kuat, dan dukungan dari investor visioner dapat membantu menciptakan ekosistem film yang berkelanjutan di Indonesia.

Sebagaimana yang diungkapkan Bryan Braunlich, direktur eksekutif National Association of Theatre Owners Cinema Foundation, "Para pembuat film di Hollywood menunjukkan bahwa bioskop itu penting."

Pesan ini relevan bagi para investor di Indonesia, yang dapat memainkan peran penting dalam memajukan bioskop independen dan memberikan kontribusi nyata pada perkembangan industri film nasional.

 




Sumber : Associated Press / Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x