Para naga menjelaskan bahwa tebusannya adalah tirta amerta yang ada di tangan para dewa. Garuda pun menyanggupinya.
Sebelum pergi, ia diberi pesan oleh ibunya bahwa di sebuah pulau terdapat orang-orang kerdil yang jahat. Dan mereka harus dimakan ketika Garuda merasa lapar.
Di samping itu, ibunya juga berpesan agar tidak memakan brahmana karena ayahnya juga seorang brahmana. Jika ia memakan brahmana maka lehernya akan merasa panas dan ia harus segera memuntahkannya.
Ketika sampai di Kucapa Dwipa, Garuda memakan para Candala (orang kerdil), dan tenggorokannya terasa panas karena terdapat brahmana yang ikut termakan. Sesuai pesan ibunya, Garuda pun memuntahkan kembali apa yang baru saja ia telan.
Garuda melanjutkan perjalanannya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan ayahnya, Begawan Kasyapa. Karena merasa lapar, ia meminta makan kepada ayahnya.
Kemudian, Begawan Kasyapa memberitahu bahwa nanti Garuda akan bertemu dengan dua orang, Wibhawasu dan Supratika.
Mereka adalah kakak-beradik yang saling mengutuk. Wibhawasu mengutuk adiknya menjadi gajah (gaja), sedangkan Supratika mengutuk kakaknya menjadi kura-kura (kaccapa).
Sehingga, mereka menjadi gaja-kaccapa raksasa. Ketika bertemu di jalan, Garuda segera memakan mereka seperti pesan dari ayahnya.
Kemudian, Garuda menuju ke gunung tempat para dewa menyembunyikan tirta amerta. Tempat itu sangat ketat penjagaannya, tetapi dengan kesaktiannya Garuda dapat melewati semua rintangan dan membawa pulang tirta amerta.
Garuda dihadang oleh Dewa Wisnu dan Indra untuk membujuknya agar tidak menyerahkan tirta amerta pada para naga, tetapi diserahkan kembali pada para dewa.
Garuda tidak mau menyerahkannya, tetapi Garuda berjanji akan menyerahkan kembali tirta amerta ketika ibunya terbebas dari perbudakan.
Garuda menawari Dewa Wisnu untuk meminta apapun asalkan bukan tirta amerta. Dewa Wisnu pun meminta Garuda untuk menjadi kendaraannya dan hal itu dituruti oleh Garuda.
Setelah sampai di tempat para naga, Garuda menyerahkan tirta amerta itu kepada para naga, tetapi sebelumnya Garuda berpesan agar para naga bersuci terlebih dahulu karena air itu adalah air suci.
Para naga pun bergegas mandi dan meninggalkan guci berisi tirta amerta. Keadaan ini dimanfaatkan para dewa untuk mengambil kembali tirta amerta sehingga para naga tidak dapat meminumnya.
Baca Juga: Mengawali 2023, Bentara Budaya Jakarta Gelar Pameran OwALAH dan SINTHJIA
Menurut Putu Sutawijaya, kisah Garudeya memiliki simbol pembebas ibunya dari perbudakan para naga. Hal ini mirip dengan sejarah bangsa Indonesia yang baru saja bebas dari penjajahan bangsa asing.
Relief-relief candi yang menceritakan kisah Garudeya ini mengilhami para pendiri bangsa untuk menjadikannya sebagai lambang negara.
Putu Sutawijaya dan Kriss Budiman menilai, kisah Garudeya dapat diletakkan dalam dua konteks. Pertama, dalam konteks kehidupan keluarga, Sang Garuda merepresentasikan sebuah keutamaan yaitu nilai bakti kepada ibu.
Kedua, dalam konteks kehidupan bangsa, ia merupakan alegori pembebasan dari penindasan dan pemerdekaan tanah air dari belenggu kolonial.
Setelah mengetahui kisah Garudeya, Putu melanjutkan laku lelampah melalui sapuan visual atas sapaan-sapaan nataif Garudeya.
Hasil dari laku lelampah Putu Sutawijaya ini melahirkan karya-karya yang akan dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta. Putu berharap, pameran ini dapat membangkitkan semangat nasionalisme di era global.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.