Makna kartun ini cukup mudah ditafsirkan, bahwa sepak bola Indonesia tidak pernah melambung seperti sebuah tendangan, karena para pengurusnya justru malah bermain politik.
Tiga tokoh dalam kartun ini yaitu Timun, Delima dan Terong, mewakili rakyat kebanyakan. Orang-orang lugu, apa adanya dan terkadang konyol.
Namun mereka mewakili rakyat yang selalu jadi korban atau pihak yang terdampak dari sebuah kebijakan.
Apakah keluarga Timun bisa memaki sebagai bentuk protes atau kekesalan terhadap keadaan?
"Kartun itu harus lucu dan tidak boleh memaki. Dan tidak boleh menyerang perorangan," jelas Rahmat yang kini memasuki usia 75 tahun.
Baca Juga: 200 Mahasiswa dari Sabang sampai Merauke Jelajahi Desa Kartun Sidareja lewat Wisata Petualangan
Meski semua tema diambil atau menggambarkan kondisi Indonesia saat kartun dibuat, Rahmat tetap menonjolkan sisi humornya.
Untuk menampilkannya dalam bentuk kartun strip setiap minggu di Harian KOMPAS, Rahmat sudah memikirkan tema sejak hari Kamis. Dan itu yang menjadi bahan renungan dan pergulatannya setiap pekan sebelum dibuat.
"Harus ada tema, kalau dari sisi teknik sudah tidak ada masalah," katanya.
Dan menggali tema yang beragam itulah yang membuatnya terus membaca, mengikuti perkembangan selama puluhan tahun bergelut di dunia kartun.
Jebolan fakultas teknik sipil Universitas Atma Jaya ini sudah malang melintang di dunia kartun sejak tahun 1970-an.
Karya-karyanya muncul di berbagai media cetak kala itu, seperti Expres, Indonesia Raya, Majalah Senang, Tabloid Monitor, Majalah Kawanku, dan Gatra.
Di tengah keprihatinan karena jumlah kartunis makin menciut karena salah satunya disebabkan banyak media cetak gulung tikar, Rahmat mengaku masih belum mau pensiun dari dunia kartun.
"Sampai tangan saya sudah tidak mampu lagi," katanya.
Selama berkarya, tangannya selalu sehat. Dia mengaku justru kakinya yang sering bermasalah.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.