JAKARTA, KOMPAS.TV - Indonesia memproduksi ulang film Miracle In Cell No.7 yang pertama kali dirilis di Korea Selatan. Film ini akan segera tayang di bioskop pada 8 September 2022.
Daya tariknya membuat Miracle In Cell no.7 mendapatkan sambutan di berbagai negara, termasuk Indonesia melakukan remake terhadap film ini.
Ada beberapa perbedaan antara film Miracle in Cell No.7 versi Indonesia dengan versi orisinalnya. KOMPAS.TV merangkumnya seperti yang tertuang berikut ini:
1. Latar tempat yang diambil
Untuk versi aslinya, film Miracle in Cell No.7 mengambil latar tempat di sebuah rumah yang sangat kecil, hanya muat untuk si anak perempuan saja. Rumah tersebut berada di sebuah pemukiman yang cukup sepi penduduk.
Sementara dalam versi Indonesia, latar tempat yang digunakan adalah sebuah rumah yang berada di tepi rel kereta api pada area pemukiman padat penduduk.
Baca Juga: Miracle in Cell No 7 Versi Korea Bisa Ditonton di Mana? Ini Jawabannya
2. Alur Cerita
Keseluruhan alur ceritanya masih mempertahankan versi Korea, namun ada hal yang membedakannya.
Perbedaan paling kentara adalah candaan yang muncul dalam alur cerita itu sangat lokal, Indonesia sekali, sehingga sangat cocok dengan audiens Indonesia.
Chemistry antara Vino, Indro Warkop, Tora Sudiro dan yang lainnya membuat alur cerita menjadi semakin hidup.
3. Iklim yang berbeda
Salah satu perbedaan yang paling mencolok antara film Miracle in Cell No. 7 versi Indonesia dengan Korea adalah iklim, yang mana menjadi penyebab dari konflik utamanya.
Dalam film aslinya, tokoh korban yang merupakan anak kecil jatuh karena terpeleset salju yang kemudian membuatnya terbunuh.
Sedangkan, Indonesia yang memiliki iklim tropis tidak memungkinkan untuk mengambil setting kejadian serupa karena akan membuat rancu para penonton.
Baca Juga: 6 Fakta Film Miracle In Cell No 7 Versi Indonesia, Para Pemain Turut Bernyanyi
4. Profesi tokoh utama
Baik versi asli maupun Indonesia, tokoh utama sama-sama memiliki keterbelakangan mental, namun letak perbedaannya ada pada profesinya.
Lee Yong-gu, tokoh utama versi Korea, berprofesi sebagai juru parkir yang upahnya tidak seberapa. Sedangkan tokoh utama versi Indonesia yang bernama Dodo Rozak (Vino G. Bastian) berprofesi sebagai penjual balon.
5. Hukum yang digunakan
Selaku sutradara, Hanung Bramantyo menjelaskan bahwa sistem hukum yang dipakai dalam film ini tidak menggunakan sistem hukum di Indonesia.
Untuk menghindari tersinggungnya beberapa pihak dan demi keamanan, berdasarkan saran dari penasihat hukum, maka film ini menggunakan hukum fiktif dan nama penjaranya pun fiktif.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.