JAKARTA, KOMPAS.TV - Setiap hari, bahkan tiap jam hingga detik, manusia selalu menggunakan akalnya untuk berpikir.
Hal ini semakin dikuatkan oleh studi yang dipublikasi oleh Nature. Disebutkan bahwa rata-rata seseorang berpikir sekitar 6.000 kali setiap harinya.
Entah itu berpikir untuk memutuskan pilihan, mengapresiasi sesuatu, atau hanya sekadar bersosialisasi dengan orang lain.
Tak terkecuali berpikir untuk berlogika. Salah satu tindak berpikir ini merupakan suatu fundamental dasar manusia sebagai animal rationale atau makhluk rasional untuk dapat memahami pengetahuan sekitarnya melalui kaidah berpikir yang tepat.
Jadi S. Lima, seorang Lektor Hermeneutika, Filsafat dan Logika, menjelaskan logika dan bagaimana manusia hidup bersamanya melalui melalui siniar (podcast) OBSESIF episode “Logika Berpikir, Awal Kebebasan dan Kesetaraan”.
Baca Juga: Curhat Bisa Membantu Jaga Kesehatan Mental, Ini Hal yang Harus Kamu Perhatikan
Secara praktis, di kehidupan sehari-hari, logika dapat didefinisikan sebagai suatu jalan pikiran yang menuju masuk akal.
Akan tetapi, dalam konteks ilmu pengetahuan, Britannica mendefinisikan logika sebagai studi tentang ketepatan bernalar yang dilakukan lewat penarikan kesimpulan-kesimpulan.
Meskipun bisa dikatakan logika memiliki lebih dari satu definisi, tindakan berpikir ini selalu kita lakukan dalam sehari-hari secara sadar ataupun tidak.
“Dalam kehidupan ini, kadang-kadang orang bertanya, ‘kenapa begini, kenapa begitu, kok kamu bisa mengambil keputusan ini?’ Ketika dijawab, mereka malah nanya lagi, ‘kok bisa, kenapa harus begini?’” ujar Jadi.
Baca Juga: Kenali 5 Love Language Ini, Mana yang Jadi Bahasa Cintamu?
Pertanyaan-pertanyaan itu akan seterusnya ditanyakan hingga seseorang merasa puas dengan jawaban yang diberikan.
Namun, yang menjadi fokus utamanya adalah bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut berusaha memantik logika untuk berpikir agar mendapat jawaban.
Selain berlogika dalam menjawab pertanyaan, Jadi juga mengungkapkan logika dapat berfungsi saat memeriksa jawaban, teori, atau pandangan orang lain.
“Misalnya, belakangan kita banyak denger teori konspirasi, (katanya) covid itu bikinannya Bill Gates. Nah, kita jadi bisa tanya, ‘Apa tujuan dia? Mau kaya karena jualan vaksin?’, ‘Memangnya dia dapet uangnya dari mana dari vaksin itu?’, atau ‘Bener itu hanya bikinan?’, dan seterusnya,” tutur pria yang menulis buku Apa Itu Kekristenan tersebut.
Baca Juga: Awas! Belum Bisa Memaafkan Dapat Pengaruhi Kesehatan Mental
“Kamu bisa tanya terus. (Berawal dari) pertanyaan apa yang kamu ajukan, (lalu) apakah kamu perlu mengajukan pertanyaan, itu semua yang bisa diselidiki dalam logika,” tambahnya.
Jadi menganalogikan logika seperti sebuah pisau cutter. Menurutnya, apabila pisau itu tajam, maka ia dapat digunakan untuk banyak hal. Tak hanya itu, kita juga tidak perlu mengeluarkan tenaga besar untuk mengirisnya. Hasilnya pun rapih.
Namun, apabila pisau itu tumpul, yang terjadi justru sebaliknya.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa logika merupakan kemampuan yang diperlukan untuk menjawab serta mengoreksi suatu masalah dengan tajam.
Kita bisa melihat suatu pertanyaan dengan jernih, serta bisa mengoreksi suatu pernyataan secara tajam.
Wacana di atas merupakan cuplikan penjelasan Jadi S. Lima mengenai logika dalam episode podcast OBSESIF bertajuk “Jadi S. Lima: Logika Berpikir, Awal Kebebasan dan Kesetaraan”.
Tak hanya soal logika, podcast ini juga membahas tips-tips seputar soft skill esensial, berwirausaha, atau isu sosial lainnya. Dengarkan OBSESIF di Spotify atau akses melalui tautan berikut https://bit.ly/obsesifS3E2.
Penulis: Fauzi Ramadhan dan Brigitta Valencia Bellion
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.