"Apalagi Amerika Serikat cenderung menyalahgunakan posisi tersebut dengan menerbitkan utang berlebih yang kemudian dibiayai oleh banknote yang mereka terbitkan."
"Idealnya dolar AS akan tetap menjadi mata uang penting. Tetapi dunia perlu alternatif, agar otoritas moneter dan pemerintah Amerika Serikat lebih berhati-hati mengelola ekonominya," terangnya.
Lantas bagaimana dengan OECD? Wijayanto menyebutnya tetap sebagai pilihan yang bagus, tetapi unsur status quo-nya masih sangat kental.
Misalnya untuk menjadi anggota, calon anggota harus memenuhi kriteria yang disusun dengan value dan parameter yang sangat Barat-minded.
"Ada kesan ada pihak yang superior dan inferior. Dalam era dunia yang makin multipolar, hal seperti ini harus perlahan dihilangkan," ucap Wijayanto.
Untuk menjadi anggota, Indonesia pun harus berjuang keras untuk dapat memenuhi kriteria tersebut, yang tidak seluruhnya relevan bagi Indonesia.
Baca Juga: Kemenperin Sebut iPhone 16 Belum Boleh Diperjualbelikan di Indonesia, Ini Sebabnya
Hal lain, berdasarkan pengalaman RI, untuk mewujudkan kerja sama ekonomi dengan negara-negara Barat juga sangat rumit.
Lalu, sebaiknya Indonesia pilih bergabung dengan OECD atau BRICS?
Menurut Wijayanto, skenario terbaik adalah bergabung dengan keduanya seperti yang coba dilakukan Thailand dan Turki (Turki adalah anggota OECD tetapi mendaftar menjadi anggota BRICS), karena memang tidak ada ketentuan formal yang tidak memungkinan hal ini terjadi.
Kemudian skenario terbaik kedua adalah memilih salah satu, jika memang harus memilih.
"Kita prioritaskan kelompok yang lebih menghargai posisi Indonesia, indikatornya sederhana yaitu yang paling mungkin dieksekusi dengan cepat. Jika memilih OECD, tentunya kita perlu afirmasi bahwa berbagai perjanjian dagang yang masih menggantung, akan segera dituntaskan," kata Wijayanto.
Baca Juga: Program 100 Hari Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Ingin Sederhanakan Perizinan Sektor Energi
"Skenario terburuk adalah Indonesia dalam posisi digantung; tidak menjadi bagian dari keduanya adalah, akibat ragu menentukan sikap. Kita sudah terlalu lama dalam posisi ini dan harus segera diakhiri," tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Sugiono secara resmi menyatakan keinginan Indonesia untuk bergabung dengan blok ekonomi BRICS sebagai pengejawantahan politik luar negeri nasional yang berdasar nilai bebas aktif.
Hal tersebut disampaikan Sugiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10).
“(Bergabungnya RI ke BRICS) bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum,” kata Sugiono, seperti dikutip dari Antara.
Ia mengatakan keinginan tersebut menunjukkan Indonesia memandang BRICS sebagai wahana yang tepat untuk membahas dan memajukan kepentingan bersama negara-negara Selatan Global (Global South).
Sumber : KOMPAS TV, Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.