JAKARTA, KOMPAS.TV - Pengamat ekonomi dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai rencana Indonesia bergabung dengan BRICS adalah langkah yang tegas dan berani.
Hal itu dinilai bisa mendongkrak profil internasional Indonesia, serta meningkatkan posisi tawar RI di hadapan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) maupun BRICS.
Ia menjelaskan, sebenarnya isu apakah Indonesia akan bergabung dengan OECD atau BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) sudah beredar cukup lama, sehingga perlu segera diputuskan.
"Menghabiskan waktu terlalu lama untuk memilih dan memilah akan menghasilkan skenario terburuk bagi Indonesia, yaitu bukan angota keduanya. Kalaupun bergabung nantinya akan sangat terlambat dan tidak ikut terlibat dalam diskursus penting penyusunan garis kebijakan keduanya," kata Wijayanto dalam keterangannya kepada Kompas.tv, Sabtu (26/10/2024).
Ia menerangkan, menjadi anggota BRICS tidak harus diartikan menjaga jarak dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Baca Juga: Menlu Sugiono Langsung ke Retret Kabinet di Akmil Magelang usai Hadiri KTT BRICS
India, Uni Emirat Arab (UEA), Brasil, dan Arab Saudi misalnya, merupakan anggota BRICS yang juga teman dekat AS.
Sebaliknya, menjadi anggota OECD tidak berarti menjaga jarak dengan negara-negara BRICS terutama China dan Rusia.
OECD dan BRICS, lanjut Wijayanto, bukanlah blok yang kaku. Masing-masing anggota tetap bebas melakukan kerja sama.
Dalam konteks ini, dia menilai pertimbangan Indonesia mestinya lebih pragmatis bukan politis, mana yang lebih memberikan keuntungan bagi Indonesia itulah yang akan dipilih.
Menurut Wijayanto, OECD jelas ingin mempertahankan status quo di mana beberapa negara Barat mendominasi ekonomi dunia. Termasuk terkait sistem perdagangan dunia dan sistem moneter, di mana dolar AS menjadi reserve currency dunia dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menjadi wadah.
"Sementara BRICS ingin melakukan terobosan dari yang paling ekstrem yaitu dedolarisasi dengan membentuk mata uang alternatif pengganti dolar AS, seperti dipelopori oleh Rusia dan China," ujarnya.
Baca Juga: Putin Usulkan Pembentukan Platform Ekonomi BRICS yang Bebas dari Dominasi Negara Lain
Ia menambahkan, Rusia semakin semangat mewujudkannya setelah negara-negara Barat membekukan aset-asetnya di luar negeri pascakonflik Ukraina.
"Banyak negara pun bertanya-tanya, jika ini bisa terjadi pada Rusia, pasti bisa juga terjadi pada mereka. Hingga agenda yang lebih moderat, seperti kerja sama dagang dan pembentukan sistem pembayaran alternatif menggunakan mata uang lintas negara BRICS, ide ini dimotori salah satunya oleh India," tuturnya.
Wijayanto bilang, kalaupun akhirnya memutuskan bergabung dengan BRICS, idealnya Indonesia menjadi bagian yang moderat, mendorong kerja sama dagang serta mewujudkan sistem pembayaran baru yang tidak terlalu tergantung pada dolar AS.
Pasalnya, kata dia, sistem moneter saat ini, di mana dolar AS mewakili lebih dari 90 persen cadangan dan mata uang perdagangan dunia, cenderung tidak sehat.
Baca Juga: Indonesia Terima Peta Jalan Aksesi Keanggotaan OECD, Ini Manfaatnya Buat RI
Sumber : KOMPAS TV, Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.