Saat ini, jumlah pekerja pabrik Sritex yang berada di Sukoharjo mencapai 10.000 hingga 11.000.
”Kami tidak akan melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) massal manakala kondisi ini masih bisa dilakukan upaya hukum. Sebab, bukan perusahaan yang memailitkan,” tegas Hario.
Terkait sengketa yang terjadi, Hario menyebut muncul karena persoalan utang. Namun, ia enggan mengungkapkan jumlah utang yang tercatat dalam kasus tersebut karena menjadi kewenangan pemilik.
Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Sukoharjo Sumarno berharap, Sritex bisa menyelesaikan masalah tersebut sebaik-baiknya dan tidak berujung pada pemutusan hubungan kerja.
”Perusahaan tekstil ini termasuk perusahaan padat karya. Tenaga kerjanya begitu banyak. Jadi, dampaknya akan sangat luas,” tutur Sumarno.
Kompartemen Sumber Daya Manusia Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Harrison Silaen menyampaikan, situasi industri tekstil nasional sedang tidak baik-baik saja karena gempuran produk impor yang masif.
”Terus terang, kami tidak kuat bersaing. Persaingan harga tekstil impor ini tidak wajar. Misalnya, di China, produk tekstil itu sudah overproduction. Mereka lalu masuk ke negara-negara lain. Indonesia termasuk yang paling seksi untuk dimasuki,” jelas Harrison.
Wakil Ketua API Jateng Lilik Setiawan menyampaikan, pembatasan produk impor perlu dilakukan agar industri tekstil nasional bisa bertahan.
”Yang penting adalah menyelamatkan kepentingan nasional. Jika tidak demikian, pabrik-pabrik bisa berguguran,” ucap Lilik.
Baca Juga: Sejarah Sritex, Produsen Seragam Tentara NATO di Solo yang Akhirnya Pailit
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.