Baca Juga: Ekonom UI Sebut Defisit 2025 Bisa Tembus Rp700 T kalau Anggaran Makan Bergizi Gratis Naik
Hal serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti. Ia menuturkan, rendahnya rasio penerimaan pajak jadi tantangan Prabowo menjalankan program-programnya. Sehingga harus lebih selektif dalam melaksanakan program prioritas.
Esther mengatakan Prabowo harus belajar dari kesalahan-kesalahan yang dibuat Jokowi.
“Rasio penerimaan pajak turun terus tapi belanja naik terus, akhirnya nambah utang. Pembangunan infrastruktur itu oke dalam jangka panjang untuk menjadi driver ekonomi, tapi kan pajaknya turun terus,” kata Esther saat dihubungi Kompas.tv, Rabu (9/10/2024).
Ia menerangkan, pemerintah saat ini juga kurang tegas saat menjalankan kebijakan perpajakan.
“Contohnya seperti dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), di mana investor yang ada di situ mendapat pembebasan pajak selama mereka membangun infrastruktur di dalam KEK. Namun kenyataannya, mereka mendapat pembebasan pajak tapi infrastruktur tetap dibangun oleh pemerintah,” ungkapnya.
Baca Juga: Kubu Arsjad Rasjid Sebut Pengumuman Susunan Pengurus Kadin Versi Munaslub Langgar Kesepakatan
Di sisi lain, Esther berpendapat target pertumbuhan ekonomi 8 persen mungkin saja tercapai, jika pemerintahan baru menggerakkan empat motor pertumbuhan ekonomi. Yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor, dan belanja pemerintah.
Ia mengatakan, selama ini pemerintahan Jokowi hanya fokus dalam mendorong konsumsi rumah tangga, sehingga tidak maksimal mendorong perekonomian.
Buktinya saat terjadi pandemi Covid 2020, saat Jokowi memberikan banyak insentif untuk mendorong konsumsi seperti insentif pembelian mobil dan bantuan sosial.
Dana ratusan miliar untuk bansos, kata Esther, tidak mengurangi kemiskinan secara signifikan, hanya turun 2-3 persen.
Ia melanjutkan, neraca perdagangan Indonesia saat ini memang surplus dalam 52 bulan beruntun sejak Mei 2020.
Baca Juga: Susunan Lengkap Pengurus Kadin Versi Munaslub, Ada Nama Arsjad Rasjid hingga Raffi Ahmad
Namun menurut Esther, hal itu disebabkan booming komoditas seperti sawit. Bukan karena meningkatnya volume ekspor Indonesia secara keseluruhan. Investasi yang masuk ke dalam negeri juga belum mampu mendorong pembukaan lapangan kerja.
Pasalnya, investasi yang masuk adalah yang padat modal dan padat teknologi, bukan padat karya. Sementara di saat bersamaan, terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran sejak awal tahun 2024.
Prabowo-Gibran juga menargetkan rasio penerimaan pajak jadi 16 persen, dari level 10 persen pada 2023.
Mengutip Kementerian Keuangan, rasio penerimaan pajak atau tax ratio adalah perbandingan antara total penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di masa yang sama. Tax ratio menjadi ukuran yang memberi gambaran umum atas kondisi perpajakan di suatu negara.
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi tax ratio. Antara lain tarif pajak, tingkat pendapatan per kapita, tingkat optimalisasi tata laksana pemerintahan yang baik, tingkat kepatuhan wajib pajak, komitmen dan koordinasi antarlembaga negara, serta kesamaan persepsi antara wajib pajak dan petugas pajak.
Baca Juga: Syarat Investor Migas Bisa Pilih Skema Gross Split yang Lebih Fleksibel dan Menguntungkan
Untuk mengejar tax ratio 16 persen, Prabowo-Gibran akan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) yang terdiri pajak dan bea cukai, sehingga keduanya akan dipisahkan dari Kementerian Keuangan.
Namun, pembentukan BPN dinilai Esther tidak akan efektif karena akan sama saja dengan Kemenkeu saat ini.
“Selama ini Kementerian Keuangan memang sangat powerful di mana fungsi anggaran, penerimaan negara, dan belanja negara jadi satu. Tapi kalau BPN dibentuk, lembaga itu akan meng-cover pajak dan bea cukai, sementara Kemenkeu hanya jadi bagian pencatatan keuangan dan aset negara,” tuturnya.
Dalam pandangannya, cara yang lebih efektif untuk meningkatkan rasio pajak adalah dengan sikap tegas pemerintah terhadap wajib pajak. Terutama kepada wajib pajak perusahaan dan orang-orang kaya.
Jika penerimaan pajak masih rendah, Prabowo-Gibran juga harus lebih selektif memilih program prioritas mereka.
Baca Juga: Sekjen Gerindra Bocorkan Kabinet Prabowo-Gibran: Ada Menteri Era Jokowi, InsyaAllah Ada dari PDIP
“Sama aja (pembentukan BPN), kenapa mesti dibentuk badan baru. Harusnya pengelolaan pajaknya yang bener. Jangan program IKN iya, makan siang iya, harus dipilih prioritasnya,” katanya.
“Belanja modal pemerintah harus lebih besar dari belanja rutin, seperti gaji pegawai, rapat-rapat yang harus dikurangi. Tapi yang terjadi sebaliknya, (Prabowo-Gibran) malah membentuk kabinet besar, kabinet gemoy,” tandasnya.
Seperti diketahui, Prabowo-Gibran akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pada 20 Oktober 2024 mendatang.
Sumber : Kompas.tv/Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.