Dua hal tersebut telah melemahkan rupiah menjadi Rp16.000-16.300 per dolar AS dalam beberapa hari ke belakang. Nilai tukar ini bahkan bisa mencapai lebih dari Rp16.500 apabila tensi geopolitik tidak menurun.
Erick menilai, situasi ekonomi dan geopolitik tersebut sudah dan akan berdampak kepada Indonesia melalui capital outflow. Di mana investor pasar keuangan akan menempatkan dana mereka di AS, sehingga memicu melemahnya rupiah dan naiknya imbal hasil obligasi.
Kemudian juga semakin mahalnya biaya impor bahan baku dan pangan karena gangguan rantai pasok karena konflik Iran-Israel.
"Dan akan menggerus neraca perdagangan Indonesia," sambungnya.
Baca Juga: Rupiah Tembus Rp16.200/Dollar AS, Ekonom Ingatkan Stabilitas Politik dalam Negeri Dijaga
Menanggapi arahan Menteri BUMN, Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengatakan pihaknya secara intens terus memantau perkembangan terkini.
Nicke menyebut fluktuasi minyak dunia akan kian dinamis setelah meningkatnya ketegangan yang terjadi di Timur Tengah.
"Kita sejak awal telah menyiapkan upaya dalam mengendalikan biaya, mulai dari seperti pemilihan crude yang optimal, pengelolaan inventory, efisiensi biaya pengangkutan dan maksimalisasi produksi high valuable product," ungkap Nicke.
Hal serupa juga dilakukan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dirut BRI Sunarso memastikan BRI akan menerapkan langkah ketat dalam rencana aksi korporasi ke depan.
Baca Juga: Satgas PASTI OJK Blokir 602 Pinjol Ilegal, Pinpri, dan Investasi Bodong
BRI, lanjut Sunarso, juga berkomitmen penuh menjaga porsi kredit yang terdampak oleh volatilitas rupiah, suku bunga, dan harga minyak secara proporsional.
"Tentu seperti arahan Pak Menteri, kita akan melaksanakan uji stres dan juga memonitor dengan saksama dampak ekonomi dan geopolitik global terhadap kondisi di tanah air," ungkapnya.
Sumber : KOMPAS TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.