PBJT ini meliputi makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, jasa kesenian dan hiburan, dengan tarif paling tinggi 10 persen.
Baca Juga: Heru Budi Siap Bahas Lagi Pajak Hiburan di Jakarta dengan DPRD DKI
Di mana sebelumnya diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan tarif paling tinggi 35 persen. Sedangkan Khusus PBJT atas Jasa Hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, dikenakan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen (sebelumnya dengan UU 28/ 2009 paling tinggi hanya 75 persen, tanpa pembatasan minimum, sehingga bisa di bawah 40 persen).
Pajak Hiburan yang minimum 40 persen tersebut dibebankan kepada konsumen, sedangkan terhadap pihak Penyelenggara Jasa Hiburan juga dikenakan PPh Badan sebesar 22 persen.
Kemenko Perekonomian mencatat, sebelum berlakunya UU HKPD, berdasarkan UU 28/2009 sudah ada beberapa daerah yang menetapkan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebesar 75 persen.
Yaitu Aceh Besar, Banda Aceh, Binjai, Padang, Kota Bogor, dan Depok. Lalu sebesar 50 persen di Sawahlunto, Kab Bandung, Kab Bogor, Sukabumi, dan Surabaya.
Baca Juga: Pajak Hiburan Karaoke hingga Spa 40%-75%, Kemenkeu: Konsumennya Masyarakat Tertentu
Kemudian sebesar 40 persen di Surakarta, Yogyakarta, Klungkung, dan Mataram.
Menurut Airlangga, sektor pariwisata sudah mulai tumbuh sejak dihajar pandemi Covid. Hal itu terlihat dari Pajak Daerah terkait Pariwisata.
Sampai November 2023, Pajak Hotel tumbuh 46,6 persen (Rp8,51 T), Pajak Restoran tumbuh 20 persen (Rp13,6 T), Pajak Hiburan tumbuh 41,5 persen (Rp2,01 T).
Bali dan DKI Jakarta menjadi daerah dengan pertumbuhan pajak tersebut paling tinggi yakni 56 persen dan 9 persen.
Sumber : KOMPAS TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.