JAKARTA, KOMPAS.TV- Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, penutupan TikTok Shop tidak membuat penjualan barang impor jadi berkurang.
Pasalnya, Permendag No 31 Tahun 2023 hanya memperketat praktik cross border. Yaitu penjualan barang impor langsung oleh pedagang dari luar negeri.
Sedangkan untuk barang impor yang sudah ada di Indonesia, masih bebas beredar.
"Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 31 Tahun 2023 hanya ketat mengatur cross border commerce. Untuk barang impor yang sudah ada di Indonesia, platform masih bebas menjual dan memberikan diskon yang berpotensi memunculkan predatory pricing," terang Nailul saat dihubungi Kompas.tv, Selasa (10/10/2033).
Menurutnya, e-commerce Shopee jadi pihak yang paling diuntungkan dengan tutupnya TikTok Shop dan revisi Permendag No 50 Tahun 2020 itu.
Baca Juga: Kemenkop UKM Sayangkan TikTok Kurang Sosialisasi Penutupan TikTok Shop, Pengguna Kebingungan
Pasalnya, konsumen TikTok akan beralih ke platform e-commerce lain, termasuk Shopee. Tak terkecuali transaksi melalui Instagram maupun WhatsApp dengan sistem keamanan tidak terjamin.
"Peran pemerintah sangat penting untuk memastikan setiap barang impor yang dijual melalui marketplace sudah mengikuti aturan yang ada, sehingga produk-produk lokal yang selama ini kalah bersaing karena faktor harga bisa lebih terlindungi. Termasuk dari aksi predatory pricing yang kerap dilakukan aplikasi asing," tuturnya.
Di sisi lain, Nailul mengapresiasi adanya batasan harga barang impor minimal 100 dollar AS per transaksi di Permendag 31/2023 itu.
Sebelumnya, Nailul juga melihat bahwa pemerintah perlu memproteksi produk lokal dengan memperketat produk impor dan pemberian disinsentif terhadap produk impor, serta insentif bagi produk lokal.
"Jadi saya melihat, social commerce merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya karena sejatinya interaksi di sosial media tidak dapat diatur apakah mau jual beli atau interaksi lainnya," katanya kepada Kompas.tv beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Aturan Baru Sri Mulyani, E-Commerce Impor 1.000 Barang atau Lebih Wajib Lapor Data ke Bea Cukai
Nailul menambahkan, seharusnya ada pengaturan untuk social commerce yang disamakan dengan e-commerce karena prinsipnya sama-sama jualan menggunakan internet.
Pengenaan pajak dan sebagainya menjadi krusial diterapkan di social commerce.
"Tahun 2019 saya sudah sampaikan bahwa social commerce ini akan lebih sulit diatur karena sifatnya yang tidak mengikat ke perusahaan aplikasi. Akan banyak loophole di situ," tambahnya.
Ia pun menyarankan pemerintah untuk memasukkan detil pengaturan social commerce untuk disetarakan dengan e-commerce. Mulai dari persyaratan admin hingga perpajakan.
"E-commerce juga harus melakukan tagging barang impor. Setelah itu ada dua hal yang bisa dilakukan. Memberikan disinsentif bagi produk impor dengan biaya admin lebih tinggi, tidak boleh dapat promo dari platform. Di sisi lain, memberikan insentif berupa promo ke produk lokal," terangnya.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.