JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah menargetkan Indonesia akan mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Agar target itu tercapai, pemerintah sudah menyiapkan peta jalan atau roadmap untuk merelisasikan NZE demi menghadapi berbagai tantangan serta risiko perubahan iklim di masa mendatang.
"Transformasi menuju net zero emission menjadi komitmen bersama kita paling lambat 2060," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Mengutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Rabu (30/8/2023), net zero emission atau nol emisi karbon adalah kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi.
Untuk mencapainya, diperlukan sebuah transisi dari energi fosil yang digunakan sekarang, ke energi bersih (green energy) guna mencapai kondisi seimbang antara aktivitas manuasia dengan keseimbangan alam.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan, adalah mengurangi jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia pada kurun waktu tertentu. Atau lebih sering dikenal dengan jejak karbon. Pengurangan jumlah karbon itu biasa disebut sebagai dekarbonisasi.
Dekarbonisasi jadi bagian tak terpisahkan dari transisi energi. Lantaran, jejak karbon yang dihasilkan akan memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan makhluk hidup di bumi. Seperti kekeringan dan berkurangnya sumber air bersih, timbul cuaca ekstrem dan bencana alam, perubahan produksi rantai makanan, dan berbagai kerusakan alam lainnya.
Baca Juga: Tindak Lanjut B20 India, Pertamina Akan Kembangkan Bahan Bakar Berbasis Bioenergi
Nah, program NZE sendiri menjadi istilah populer setelah diadakannya Paris Climate Agreement Tahun 2015. Program tersebut bertujuan untuk menekan pencemaran lingkungan yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global.
Selanjutnya, dalam upaya mencapai program NZE, salah satu sektor yang menjadi fokus untuk dilakukan perubahan adalah sektor energi.
Berbagai negara telah mengeluarkan regulasi-regulasi baru dalam hal penyediaan energi yang disesuaikan dengan program NZE, termasuk di Indonesia. Yakni lewat Roadmap Net Zero Emission 2060 tadi.
Guna mengurangi jejak karbon dan mencapai kondisi net zero emissions, pemerintah menerapkan sejumlah prinsip utama, di antaranya adalah peningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT); peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri; dan pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS).
Diharapkan, dengan mengurangi jejak karbon dan berkomitmen dalam menjalankan prinsip utama di atas, Indonesia dapat mencapai kondisi net zero emissions pada tahun 2060.
"Kami telah menyiapkan peta jalan transisi menuju energi netral mulai tahun 2021 sampai 2060 dengan beberapa startegi kunci," ujar Arifin dikutip dari situs esdm.go.id.
Arifin pun menguraikan tahapan pemerintah menuju capaian target nol emisi. Pada tahun 2021, pemerintah mengeluarkan regulasi dalam bentuk Peraturan Presiden terkait EBT dan retirement coal.
"Tidak ada tambahan PLTU baru kecuali yang sudah berkontrak maupun sudah dalam tahap konstruksi," ucapnya.
Baca Juga: Pertamina Tambah 10 Titik Penyaluran BBM Satu Harga di Papua
Tahun 2022, adanya Undang-Undang EBT dan pencanangan penggunaan kompor listrik untuk 2 juta rumah tangga per tahun. Selanjutnya, pembangunan interkoneksi, jaringan listrik pintar (smart grid) dan smart meter akan hadir pada 2024.
Lalu bauran EBT mencapai 23% yang didominasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di tahun 2025. Pada tahun 2027, pemerintah akan memberhentikan impor LPG.
Kemudian 42% EBT didominasi dari PLTS di 2030 dimana jaringan gas menyentuh 10 juta rumah tangga; penyaluran Bahan Bakar Gas (BBG) 300.000; pemanfaatan Dymethil Ether dengan penggunaan listrik sebesar 1.548 kWh/kapita.
Selanjutnya pada 2031, semua PLTU tahap pertama subcritical akan mengalami pensiun dini.
Pada 2035, sudah ada interkoneksi antar pulau mulai Commercial Operation Date (COD) dengan konsumsi listrik sebesar 2.085 kWh/kapita dan bauran EBT mencapai 57% dengan didominasi PLTS, Hydro dan Panas Bumi.
Tahun 2040, bauran EBT sudah mencapai 71% dan tidak ada PLT Diesel yang beroperasi, Lampu LED 70%, dan konsumsi listrik mencapai 2.847 kWh/kapita.
Lima tahun berikutnya, pemerintah mewacanakan akan ada pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama mulai COD.
"Kita juga mempertimbangkan penggunaan energi nuklir yang direncanakan dimulai tahun 2045 dengan kapasitas 35 GW sampai dengan 2060," tutur Arifin.
Selanjutnya, bauran EBT diharapkan sudah mencapai 87% di 2050 dibarengi dengan konsumsi listrik 4.299 kWh/kapita. Terakhir, pada 2060 bauran EBT telah mencapai 100% yang didominasi PLTS dan Hydro.
Baca Juga: Makin Ekspansif, Pertamina Perkuat Kerjasama Strategis di Mozambik
Serta dibarengi dengan penyaluran jaringan gas sebanyak 23 juta sambungan rumah tangga, kompor listrik 52 juta rumah tangga, dan konsumsi listrik menyentuh angka 5.308 kWh/kapita.
Target pemerintah mencapai NZE di 2060 dan roadmap yang sudah disusun sedemikian rupa, tentunya memerlukan partipasi dan dukungan semua pihak. Termasuk dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sebagai BUMN di sektor energi, Pertamina lah yang menjadi pemimpin di bidang transisi energi.
Pertamina juga sudah menyatakan komitmennya dalam mendukung target tersebut, dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDG’s).
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaikan, pandemi Covid-19 pada 2020 dan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina tahun 2022 telah memunculkan trilema energi dalam transisi energi. Trilema energi yang dimaksud adalah ketahanan energi, affordability, dan sustainability.
Ia menjelaskan, sebelum terjadinya krisis geopolitik tersebut, Eropa menjadi salah satu pemimpin dalam perubahan menuju sustainability.
Namun, dengan menurunnya energy security, Eropa kembali mengimpor energi seperti batu bara dan akhirnya terjadi perubahan dalam bauran energi yang berdampak bagi dunia.
Oleh karena itu, ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kasus transisi energi di Eropa.
“Energi menjadi faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga transisi energi jangan mengorbankan keandalan pasokan energi dan menaikkan harga energi," kata Nicke seperti dikutip dari laman resmi Pertamina, Rabu (30/8).
Baca Juga: Hadapi Tantangan Energi Global, Pertamina Ambil Langkah Berikut
"Memastikan energy security & energy affordability, menjadi prioritas utama bagi Indonesia, sambil tetap melakukan berbagai upaya untuk menurunkan emisi karbon untuk mencapai NZE di tahun 2060,” tambahnya.
Ia menilai, setiap negara memiliki urgensi yang berbeda dalam merespons energi trilema, tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya.
Menurut Nicke, semua negara di dunia termasuk di Asia Tenggara, pada tahun 2022 dihadapkan pada kebutuhan untuk menyeimbangkan kembali ketahanan energi, inflasi, dan target energi bersih.
Nicke mengatakan Indonesia punya modal besar untuk menjalankan transisi energi.
“Indonesia memegang peran penting di panggung global dalam transisi energi karena memiliki kekayaan alam dan lokasi yang strategis. Dibutuhkan kolaborasi global untuk mendukung transisi energi bersih,” ujarnya.
Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia mulai dari tebu, jagung, singkong dan sorgum yang bisa dimanfaatkan menjadi bahan bakar nabati. Lalu panas bumi, sampai tenaga angin dan air untuk pembangkit listrik.
"Pertamina akan memanfaatkan bahan bakar nabati seperti tebu, jagung, singkong dan sorgum untuk mengembangkan bioenergi. Nanti energi kita akan berbasis bioenergi, karena Indonesia ada banyak sumber daya," imbuhnya.
Menurutnya, pengembangan bioenergi memiliki banyak manfaat dalam mempercepat transisi energi.
Ia menegaskan, bagi Pertamina bioenergi bukan hanya mengurangi emisi saja tapi juga mengurangi ketergantungan impor dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Baca Juga: Komitmen dan Inovasi Pertamina Untuk Dukung Transisi Energi di Indonesia
Dalam menjalankan transisi energi, ada dua kebijakan besar yang dilakukan Pertamina. Yakni membangun bisnis baru yang lebih hijau serta melakukan dekarbonisasi.
Senior Vice President Research Technology & Innovation Pertamina Oki Muraza menerangkan, dekarbonisasi operasional Pertamina difokuskan pada pengembangan teknologi Carbon Capture Utilization and Storage atau Carbon Capture and Storage (CCUS/CCS) dan Biofuel.
"Pertamina mempunyai inisiatif untuk menerapkan CCS atau CCUS melalui teknologi injeksi CO2 pertama kali di Lapangan Jatibarang, Jawa Barat. Teknologi ini mampu meningkatkan produksi minyak dan gas bumi melalui CO2-EOR, sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan," kata Oki.
Selain teknologi penangkapan dan pemanfaatan karbon, Pertamina juga berkomitmen mengembangkan Bio Refinery atau Green Refinery (kilang hijau) untuk menghasilkan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
"Kilang-kilang hijau itu mengolah bahan baku terbarukan seperti minyak sawit (RBDPO) hingga bekas minyak goreng (UCO)" ujarnya.
Bio Refinery Pertamina yang telah beroperasi, antara lain, Bio Refinery Cilacap dan Bio Refinery Dumai yang memproduksi HVO (Hydrotreated Vegetable Oil), Green Gasoline dan Bio Refinery Plaju dan Bio Refinery Cilacap, Green Diesel di Bio Refinery Dumai, serta Green AvturJ2 di Bio Refinery Cilacap.
“Kami juga ingin menerapkan bioetanol, dengan berbagai bahan baku, termasuk dari limbah kelapa sawit seperti Tandan Kosong Kelapa Sawit,” ucap Oki.
Baca Juga: Kabar Gembira Bun, Bulog Mau Jual Beras Premium Kemasan 1 Kg Seharga Rp9.450
Pertamina melalui Subholding Commercial & Trading yaitu PT Pertamina Patra Niaga, juga telah memperkenalkan produk bahan bakar kendaraan (BBK) baru yaitu Pertamax Green 95.
Pengenalan produk baru tersebut dilakukan untuk pertama kalinya secara resmi ke masyarakat di Jakarta dan Surabaya, Senin (24/7).
Pertamax Green 95 mempunyai RON 95 yang lebih tinggi dari Pertamax, yang memiliki RON 92. BBK jenis baru itu menggunakan bahan baku terbarukan yaitu Bioetanol sebanyak 5%
Adapun Pertamina melalui sinergi BUMN bekerja sama dengan PT Energi Agro Nusantara yang merupakan anak usaha PT Perkebunan Nusantara X (Persero). Dalam Kerja sama ini, PTPN X menyediakan bahan baku Bioetanol dari molases tebu yang diproses menjadi etanol fuel grade.
Pertamax Green 95 juga berhasil melibatkan petani tebu hingga lebih dari 9000 orang. Ini adalah implementasi dari pemanfataan sumber daya alam Indonesia, melibatkan tenaga kerja Indonesia, untuk menghasilkan energi yang ramah lingkungan.
Pemasaran produk ini pada tahap awal dilakukan di 10 SPBU di Surabaya dan 5 SPBU di Jakarta.
Pertamina juga memproduksi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan untuk pesawat komersil, yakni Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau bisa dibilang avtur ramah lingkungan.
Pertamina telah sukses melakukan uji statis SAF pada mesin jet CFM56-7B yang biasa digunakan pada pesawat komersil di fasilitas Test Cell milik GMF Aeroasia, Rabu (26/7).
Uji coba ini adalah rangkaian pertama untuk memastikan produk SAF layak digunakan untuk pesawat komersil. Sebelumnya tahun 2021, produk SAF telah berhasil menerbangkan pesawat militer berjenis CN 250.
VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menyampaikan, selanjutnya produk SAF akan memasuki tahap pengujian selanjutnya yaitu Uji Ground Round dan Flight Test.
Baca Juga: ASEAN-BAC: Ketua Kadin Sebut Rishi Sunak, Fumio Kishida, Hingga Tony Blair akan Hadir di Indonesia
Fadjar menuturkan, Pertamina memproduksi SAF melalui metode co-processing. Yaitu sebuah metode yang memproduksi green-fuel melalui proses pengolahan bahan baku minyak nabati dengan minyak bumi secara bersamaan menjadi green hydrocarbon, dalam hal ini menjadi bioavtur. Produksi SAF saat ini dilakukan di RU IV Cilacap.
“Sebagai perusahaan energi Pertamina berusaha untuk terus menjawab tantangan global untuk memproduksi green fuel yaitu dengan memproduksi SAF untuk industri aviasi di Indonesia” tutur Fadjar.
“Produk SAF ini dikembangkan bersama lintas fungsi dan Subholding Pertamina, serta diproduksi oleh Kilang Pertamina. Kami yakin melalui sinergi yang sudah terjalin ini akan terus melangkah ke depan dalam mengembangkan SAF sebagai tonggak utama dan pengembangan Biofuel atau Green Energy di Indonesia,” lanjutnya.
Transisi energi juga dijalankan Pertamina lewat program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Desa Energi Berdikari. Berdasarkan data Pertamina, hingga akhir Juli 2023 sudah terdapat 52 lokasi Desa Energi Berdikari di seluruh wilayah Indonesia.
Yang terbaru, Pertamina melakukan instalasi Energi Terbarukan berupa Pembangkit Listrik Tenaga Surya dengan total 33.250 watt peak (WP) di 5 lokasi yaitu Desa Kalijaran di Cilacap, Desa Wisata Danau Shuji di Muara Enim, Desa Tanjung Karang di Aceh Tamiang, Desa Kampung Apar di Pariaman, dan Desa Pulau Semambu di Ogan Ilir.
Tidak hanya membangun infrastruktur, program Desa Energi Berdikari melakukan program pemberdayaan masyarakat agar akselerasi transisi energi merata hingga ke pelosok desa dengan memanfaatkan sumber daya energi lokal.
Baca Juga: Mahasiswa S1 Tak Wajib Tulis Skripsi untuk Bisa Lulus, Bisa Bikin Proyek Individu dan Kelompok
Fadjar mengatakan, Program Desa Energi berdikari memberikan akses energi terbarukan sebagai solusi kebutuhan energi masyarakat yang akan membuka jalan untuk kemandirian energi dan ekonomi masyarakat.
“Melalui pemberian akses energi terbarukan kepada masyarakat, Pertamina dapat mensosialisasikan dan menghadirkan pengalaman transisi energi, sehingga masyarakat desa memahami pentingnya kehadiran energi untuk menggerakkan roda perekonomian,” sebutnya.
Energi terbarukan dari sinar matahari di 5 desa sebagian besar untuk mendukung produksi pertanian dan perkebunan.
Seperti program yang dijalankan di Desa Kalijaran Kabupaten Cilacap, yang melakukan pemanfaatan energi baru terbarukan untuk irigasi sawah, yang dapat menyelesaikan persoalan kekurangan sumber air pada saat musim kemarau.
Hal ini sejalan dengan pemanfaatan di Desa Pulau Semambu Kabupaten Ogan Ilir yang membutuhkan sumber energi listrik lebih besar untuk pompa air sebagai alat bantu petani untuk bercocok tanam.
Sementara itu, di Desa Wisata Danau Shuji Kabupaten Muara Enim, dan Desa Kampung Apar Kota Pariaman, pemanfaatan energi terbarukan untuk menggerakkan beberapa kegiatan seperti hidroponik, produksi olahan herbal, dan pertanian organik.
Sedangkan di Desa Tanjung Karang Kabupaten Aceh Tamiang digunakan sebagai sumber energi alternatif yang bersih, pada program Bengkel Doorsmeer Difabel.
Baca Juga: Luhut Ungkap Ada yang Minta LRT Jabodebek Pakai Kereta Impor saat Awal Pembangunan Proyek
Program Desa Energi Berdikari telah dilaksanakan sejak tahun 2019, dari sisi lingkungan, Program Desa Energi Berdikari telah memberikan manfaat dengan menghasilkan 143.250 WP energi Pembangit Listrik Tenaga Surya, 605.000m3/tahun energi Gas Metana & Biogas, 16.500 WP energi Hybrid Surya dan Angin, 8.000 Watt energi microhydro dan 6.500 liter/tahun biodiesel, serta pengurangan dampak emisi sebesar 565.896 tonCo2eq/ tahun.
Desa Energi Berdikari turut berperan dalam pemenuhan kebutuhan energi masyarakat. Serta memberikan dampak perekonomian bagi 3.061 Kepala Keluarga, dengan total multiplier effect sebesar manfaat 1,8 milliar per tahun.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.