“Untuk menghadirkan keadilan bagi UMKM di pasar e-commerce, Kemendag perlu segera merevisinya. Aturan ini nampaknya macet di Kementerian Perdagangan," kata Teten di Jakarta pada Kamis (6/7/2023) lalu.
Dalam laporan Tech in Asia, TikTok awalnya mengenalkan Project S untuk mewadahi pelaku bisnis online di platformnya. TikTokjuga berharap bisa bersaing dengan raksasa yang sudah mapan seperti Shein, Amazon, dan Temu.
Baca Juga: Luhut Minta Kreator TikTok Tak Bikin Konten Politik yang Bikin Ribut
TikTok Shop beroperasi sebagai platform penjualan online yang memungkinkan penjual memamerkan dan menjual produk mereka. Sedangkan Project S lebih mirip dengan Amazon Basics, di mana perusahaan langsung menjual dagangannya sendiri.
Dengan proyek ini, TikTok akan memanfaatkan pengetahuannya yang luas tentang produk-produk viral di seluruh dunia, memungkinkannya memperoleh atau membuat barang-barang tersebut untuk dijual. Di Asia Tenggara, sebelumnya TikTok Shop telah sukses dan menantang pemain e-commerce Shopee dan Lazada.
CEO TikTok Shou Zi Chew juga baru-baru ini mengumumkan bahwa perusahaan akan menginvestasikan miliaran dollar AS di Asia Tenggara. Termasuk sekitar 12,2 juta dollar AS selama tiga tahun ke depan untuk menggerakkan 120.000 bisnis regional secara online.
Project S akan menjadikan TikTok “toko serba ada untuk konversi, penjualan, dan citra merek,” menurut catatan dari Pakar Pembuat Situs Web.
Namun, perusahaan tahun lalu menghentikan perluasan TikTok Shop ke pasar seperti Eropa dan AS, tempat Shein dan Temu berkembang pesat. Sementara Project S sudah menjalani uji coba di Inggris.
Hal itulah yang dilihat Teten Masduki sebagai ancaman untuk UMKM. Ia menegaskan, untuk mengatasi ancaman ini sudah seharusnya disiapkan regulasi, salah satunya revisi Permendag Nomor 50/2020. Apalagi, revisi aturan tersebut sudah diwacanakan sejak tahun lalu. Menurutnya, lambannya penerbitan revisi Permendag Nomor 50 tersebut berdampak pada redupnya bisnis UMKM akibat terdampak kebijakan PPMSE.
Baca Juga: Jokowi ke China Temui Xi Jin Ping, Bahas Perdagangan hingga Mobil Listrik
"KemenKopUKM telah melakukan pembahasan secara intensif dengan Kemendag, KL lain dan juga secara resmi sudah mengirimkan draft perubahan revisi Permendag Nomor 50/2020 ini kepada Kemendag, namun hingga saat ini masih belum keluar juga aturan revisinya. Ini sudah sangat urgent,” ungkapnya.
TikTok, lanjutnya, saat ini sedang didefinisikan sebagai socio-commerce bukan hanya sebagai media sosial. Sebab, TikTok adalah platform yang menyediakan fitur, menu, dan/atau fasilitas tertentu yang memungkinkan pedagang (merchant) dapat mempromosikan penawaran barang dan/atau jasa sampai dengan melakukan transaksi.
Revisi Permendag 50 dinilainya akan menjadi langkah awal untuk mengatur model bisnis social commerce. Nantinya diperlukan aturan lebih detail mengenai pengaturan white labelling sehingga tidak merugikan UMKM di Indonesia.
Tak hanya itu, kebijakan tersebut juga bisa membatasi produk-produk impor masuk ke pasar digital Tanah Air. Terlebih, produk asing yang dijajakan di TikTok Shop dan e-commerce lain juga sudah banyak diproduksi oleh industri dalam negeri. Sehingga, Indonesia tak perlu lagi mengimpor produk tersebut.
"Kita bukan ingin menutup pasar Indonesia untuk produk asing. Tapi, kita ingin produk asing atau impor mengikuti aturan main yang sama dengan produk dalam negeri dan UMKM," ujarnya.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.