JAKARTA, KOMPAS.TV - Halalbihalal adalah tradisi yang dilakukan masyarakat Indonesia khususnya umat muslim dengan cara silaturahmi setelah merayakan Idulfitri.
Halalbihalal biasanya dilakukan dengan mengunjungi kerabat baik yang dekat maupun jauh.
Tujuan halalbihalal tidak lain adalah untuk menyambung tali silaturahmi dan saling meminta maaf dalam momen Lebaran.
Halalbihalal merupakan kata yang diadaptasi dari bahasa Arab yakni “Halla atau Halala” yang artinya penyelesaian masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu.
Baca Juga: Gubernur Anies Baswedan Gelar Halalbihalal dengan ASN Pemprov DKI
Dalam bahasa Indonesia halalbihalal adalah acara maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan.
Artinya, halal bihalal dimaknai sebagai kegiatan saling bermaafan atas kesalahan dan kekhilafan sesudah lebaran melalui silaturahmi.
Meskipun diambil dari kata bahasa Arab, namun halalbihalal merupakan tradisi asli Indonesia.
Melansir Kemenag Sumsel, masyarakat Mekkah dan Madinah tidak mengenal tradisi halalbihalal.
Prof. Dr. Quraish Shihab mengatakan halal bihalal adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara.
Lantas, bagaimana asal usul halalbihalal diciptakan?
Dalam hal ini, masih ada perdebatan mengenai sejarah halalbihalal dan siapa pencetusnya.
Konon, kegiatan halalbihalal pertama kali dilakukan oleh KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa.
Baca Juga: Ingat! Ganjil-Genap Jakarta Kembali Berlaku, Berikut Jadwalnya
Setelah Idulfitri, Pangeran Sambernyawa menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.
Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Kegiatan ini kemudian diadaptasi oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah.
Sedangkan, dinukil dari laman NU Online, istilah halalbihalal dipopulerkan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah.
Abdul Wahab Chasbullah merupakan salah seorang ulama yang berpengaruh pada masa kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa yang ditandai dengan para elit politik tidak rukun.
Berawal dari adanya pemberontakan yang terjadi di Indonesia, diantaranya DI/TII dan PKI Madiun.
Saat itu, di pertengahan bulan Ramadan, Presiden RI pertama, Soekarno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara.
Bung Karno meminta pendapat dan saran untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang semakin memanas.
Kiai Wahab lantas memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahmi, mengingat sebentar lagi Hari Raya Idulfitri.
"Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain," ujar Bung Karno saat itu.
Kiai Wahab lantas menjelaskan bahwa para elit politik yang bergesekan karena saling menyalahkan sehingga berujung dengan perbuatan dosa.
"Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah halal bi halal," jelas Kiai Wahab.
Dari saran itulah, Bung Karno akhirnya mengundang semua tokoh politik ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang dibentuk dalam acara halalbihalal.
Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah mulai menyelenggarakan halalbihlal secara rutin setelah Hari Raya Idulfitri.
Sumber : Kemenag Sumsel, NU Online
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.