Dikisahkan oleh Rosihan Anwar, Bung Karno tidak mengalami cedera apa-apa. Percobaan itu dilakukan orang-orang DI/TII yang mendapat tugas dari Kartosuwiryo.
Bung Karno memang tak kurang suatu apa. Namun, orang yang melindungi dirinya, yakni KH Zainul Arifin, harus meregang nyawa.
Baca Juga: Jejak dan Pengaruh Mohammad Natsir: Ulama, Pejuang dan Tokoh Masyumi
Ulama ini lahir pada 2 September 1909 dari Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Ia putra tunggal dari pasangan keturunan Raja Barus, Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan.
KH. Zainul Arifin Pohan menyelesaikan HIS (Hollands Indische School) dan sekolah menengah calon guru, Normal School. Selain itu, Arifin juga memperdalam pengetahuan agama di madrasah di surau dan menjalani pelatihan seni bela diri Pencak Silat.
Arifin muda juga seorang pecinta kesenian yang aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal Melayu, Stambul Bangsawan, sebagai penyanyi dan pemain biola.
Pada usia 16 tahun, ia merantau ke Batavia. Di kota ini, aktivisme dan pemikirannya mendapatkan tempat.
Lantas, berbekas ijazah HIS, Zainul Arifin bekerja di pemerintahan kotapraja kolonial (Gemeente) sebagai pegawai Perusahaan Air Minum (PAM) di Jakarta Pusat. Ia juga mendirikan balai pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat, di kawasan Meester Cornelis atau Jatinegara. Di sinilah jejaknya sebagai ulama dan pejuang bermula.
Panggilan ulama ini adalah Zainul Arifin atau Kiai Zainul Arifin yang juga menjadi salah satu anggota yang tergabung dalam sayap organisasi di bawah naungan Nahdlatul Ulama, Gerakan Pemuda (GP) Ansor.
Selama menjadi anggota GP Ansor, KH Zainul Arifin Pohan meningkatkan pengetahuan agama dan keterampilan berdakwahnya.
Ia menjadi seorang dai muda yang banyak dibicarakan. Gaya bicara, pidato dan pengetahuannya luas hingga menarik para ulama besar di NU. Zainul Arifin pun dipercaya untuk menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara. Lantas, jadi Ketua Majelis Konsul NU Batavia sampai tentara Jepang datang pada 1942 hingga jadi Panglima Hizbullah yang dibentuk Masyumi.
Setelah proklamasi, Zainul bertugas mewakili Masyumi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), cikal bakal DPR-MPR. Selain mengikuti BP-KNIP, Zainul juga masih aktif memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama Agresi Militer I dan II.
Saat terjadi Agresi Militer Belanda II, Belanda berhasil menguasai Yogyakarta. Pada saat darurat tersebut, BP-KNIP tidak dapat berfungsi, sehinggal Zainul bergabung sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD).
Setelah revolusi, ia sempat aktif dalam pemerintahan bersama Bung Karno, sosok yang ia kagumi. Ia bahkan diangkat menjadi wakil perdana menteri (waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun penuh (1953-1955).
Pemilu pertama 1955 mengantar Zainul Arifin sebagai anggota Majelis Konstituante sekaligus wakil ketua DPR sampai kedua lembaga itu dibubarkan Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Jejak politiknya panjang membentang, sepanjang hidupnya dalam membela negeri dan jadi ulama yang disegani.
Pada pada 2 Maret 1962, KH Zainul Arifin Pohan pun berpulang. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ia mendapatkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden No. 35/tahun 1963 tanggal 4 Maret 1963.
'Sang Perisai' Bung Karno itu berpulang. Salah satu tokoh terbaik negeri ini, ulama dan kiai yang begitu disegani.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.