JAKARTA, KOMPAS.TV – Guru Besar Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri, menjelaskan soal puasa Muhamamadiyah akan berjumlah 30 Hari dan pemerintah akan 29 hari Idul Fitri 2022 seperti yang diperkirakan, yakni terjadi berbarengan pada hari Senin, 2 Mei 2022. Hal ini juga pernah terjadi dalam sejarah.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1443 H atau hari raya Idul Fitri jatuh pada Senin, 2 Mei 2022 sebagaimana Maklumat Nomor 01/MLM/I.0/E/2022 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah 1443 H.
Terkini, Kemenag memprediksi kemungkinan Hari Raya Idul Fitri pemerintah dan Muhammadiyah akan jatuh pada tanggal yang sama, yakni pada Senin, 2 Mei 202, namun tetap harus melalui sidang Isbat.
Berdasarkan hal itu, Muhammadiyah akan berpuasa selama 30 hari. Sedangkan yang mengikuti keputusan sidang Isbat pemerintah, maka puasanya jadi 29 hari.
“Semua sepakat bahwa munculnya hilal adalah 1 Ramadan, tetapi berbeda pendapat tentang apakah malam itu sudah muncul atau belum,” kata Syamsul dilansir Kompas.com, Senin (25/4/2022) malam.
Baca Juga: Kemenag: 1 Mei 2022 Posisi Hilal Awal Syawal di Indonesia Masuk Kriteria Baru MABIMS
Metode yang digunakan untuk menentukan kemunculan hilal, yakni rukyat dan hisab. Keduanya memiliki rujukan yang sama-sama kuat dalam Islam.
Rukyat sendiri adalah proses melihat hilal atau bulan dengan mata atau teropong. Sedangkan hisab adalah metode perhitungan bulan menggunakan ilmu falak atau perbintangan (Astronomi).
Syamsul melanjutkan, dengan menggunakan ilmu hisab, awal bulan sudah dapat diketahui tanpa harus mengamati hilal secara langsung.
“Di hadis dikatakan jika melihat bulan, berpuasa. Tetapi jika belum, digenapkan Syakban-nya jadi 30 hari. Bagi Muhammadiyah (hilal 1 Ramadhan) itu sudah muncul ketika NU belum melihat (hilal). Muhammadiyah sudah melihat dengan hisab,” kata Syamsul.
Baca Juga: Mengenal Saadoe'ddin Djambek, Ulama dan Tokoh Ilmu Falak Indonesia asal Minangkabau
Ia menambahkan, sidang isbat 1 Ramadhan 1443 H lalu, kondisi hilal jika dilihat atau diamati dengan mata, diragukan.
Hal tersebut lantaran derajat hilal masih rendah sekali, sehingga NU dan pemerintah memutuskan untuk menggenapkan bulan Syakban menjadi 30 hari.
“Kalau besok (1 Syawal) itu hampir ya menurut ilmu hisab sama dengan apa yang nanti diperoleh saat rukyat. Jadi bagi NU puasanya 29 (hari), bagi Muhammadiyah 30 hari karena tidak mungkin lebih dari itu,” ujar Syamsul.
Untuk itulah, diprediksi tahun ini akan berbarengan untuk Idul Fitri 2022.
Wakil Rektor UIN Raden Mas Said ini juga memastikan, jumlah hari di bulan pada sistem penanggalan Hijriah adalah 29 atau 30.
Jadi, kata dia, tidak mungkin kurang dari 29 hari, atau lebih dari 30 hari.
Tak seperti pada kalender Masehi yang berbasis Matahari, kalender Hijriah atau sistem penanggalan dengan Bulan ini memiliki hari yang tidak pasti.
Dalam sejarah juga pernah terjadi hal demikian.
Berdasarkan sidang isbat Kemenag, Ramadan 1439 H atau Ramadan 2018 berjumlah 29 hari. Sehingga, Idul Fitri 2018 dirayakan keesokan hari setelah sidang isbat, yakni pada 15 Juni 2018.
Pada tahun berikutnya, sidang isbat memutuskan bahwa Ramadan 1440 H atau Ramadan 2019 digenapkan menjadi 30 hari lantaran hilal tidak terlihat.
Hal tersebut berbeda dengan bulan pada kalender Masehi yang memiliki jumlah hari tetap, kecuali bulan Februari yang terdiri dari 28 atau 29 hari. Bahkan perbedaan jumlah hari di Februari pun, rutin setiap empat tahun sekali atau pada saat tahun kabisat.
“Kalau kalender Matahari (Masehi) kan jelas, kalau Maret sekian hari, April sekian hari, Mei sekian hari, jelas. Kalau Hijriah bisa 29 atau 30, tidak mesti,” kata Syamsul.
“Jumlah hari di bulan Hijriah sudah tetap 29 atau 30. Hanya berbeda soal menentukan apakah malam ini sudah masuk bulan baru atau belum,” tuturnya.
Sumber : Kompas TV, Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.