Kompas TV cerita ramadan panduan

Onani Tak Patut Dilakukan Apalagi di Bulan Puasa, Berikut Penjelasan Para Ulama

Kompas.tv - 6 April 2022, 11:47 WIB
onani-tak-patut-dilakukan-apalagi-di-bulan-puasa-berikut-penjelasan-para-ulama
Ilustrasi menonon film porno. Bagaimana sih hukum onani dalam Islam? (Sumber: Anurag Sharma/Pexels)
Penulis : Dedik Priyanto | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV - Onani adalah perbuatan yang tak pantas dilakukan, terlebih di bulan puasa. Meski sebagian ulama ada yang menyebutnya makruh dan sebagian mengharamkannya. Namun bagaimana hukum onani bila dilakukan saat puasa?

Dikutip dari Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammmadiyah dalam Majalah Suara Muhammadiyah, No.11, 2010 disebutkan, ketika berpuasa,  jelas puasanya batal berdasarkan pendapat mayoritas ulama. 

Sedangkan onani menjadi makruh jika dilakukan di waktu biasa. Mereka juga menganjurkan untuk tidak melakukannya, baik di waktu biasa, malam hari terlebih di waktu Ramadan. 

Bagaimana penjelasannya?

Onani (istimnâ’ dalam bahasa Arab) adan masturbasi bagi perempuan adalah (perbuatan) mengeluarkan mani bukan melalui jalan persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang lainnya (Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, vol. I: 65).

Dijelaskan pula, dalam kitab-kitab fikih, Majalis Tarijih PP Muhammadiyah cenderung pada kesimpulan bahwa onani adalah mengeluarkan mani atau sperma dengan disengaja dan dilakukan dengan menggunakan tangan, baik tangannya sendiri, tangan istri atau tangan budak perempuannya ketika syahwat sedang muncul dan atau memuncak.

Mengenai perbuatan ini, para fuqaha  membahasnya dalam kitab-kitab fikih karangan mereka terbagi menjadi beberapa kelompok yang saling berbeda pendapat soal hukum onani. 

Baca Juga: Mimpi Basah Siang Hari Batalkan Puasa? Berikut Penjelasannya

Pendapat Berbagai Ulama soal Hukum Onani

Majelis Tarjih PP Muhammadiyah lantas menjelaskan pelbagai mazhab dan ulama-ulama yang berbeda pendapat soal hukum onani ini.

Kelompok pertama yaitu kalangan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zaidiyah yang mengharamkannya.

Argumentasi mereka adalah bahwa Allah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam semua perilaku, kecuali untuk istri dan budak yang dihalalkan (milku al-yamîn).

Jika seseorang melampaui dua hal ini dan dia beronani, maka dia dianggap seperti kaum Ad yang melampaui batas dari apa yang dihalalkan Allah dan melakukan sesuatu yang diharamkan. Allah berfirman:

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” [QS. al-Mu’minun (23): 5-7]

Kelompok kedua adalah kalangan ulama Hanafiyah mengharamkan, serta membolahkan dengan catatan

Pendapatnya adalah, bahwa onani haram dalam kondisi tertentu dan wajib dalam kondisi yang lain.

 “Onani menjadi wajib, jika dia takut melakukan zina kalau tidak beronani, sesuai dengan kaidah fikih yang artinya: Mengambil perbuatan teringan dari dua mudarat (bahaya yang ada),” bunyi penjelasan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah.

Sedangkan mereka yang mengatakan haram, jika dilakukan untuk memancing nafsu.

Kelompok ketiga adalah kalangan ulama mazhab Hambali yang mengatakan bahwa onani hukumnya haram.

“kecuali jika dia takut terjebak dalam perzinaan atau takut atas kesehatannya, sementara dia belum mempunyai pasangan. Dia juga tidak mampu untuk menikah.  Maka dalam kondisi seperti ini dia dibolehkan beronani,” bunyi penjelasan Majelis Tarjih PP Muhammadyah.

Selain ketiga kelompok di atas, terdapat pendapat independen dari beberapa sahabat, tabi’in dan ulama lainnya  di antaranya: Abdulah bin Umar ra., Abdulah bin Abbas ra., Atha’, al-Hasan, dan Ibnu Hazm. Ibnu Abbas ra. dan al-Hassan  membolehkannya.

“Dari berbagai macam pendapat di atas, hemat kami bahwa onani hukumnya adalah makruh karena cenderung tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Dan dalam kondisi tertentu dibolehkan, namun tidak boleh dilakukan secara rutin atau terus menerus,” bunyi penjelasan itu.

Kondisi tertentu itu antara lain seperti untuk kasus sepasang suami-istri yang terpisahkan tempat tinggalnya. Para sahabat pun dalam sebuah riwayat pernah melakukan onani ketika sedang bepergian melakukan perang. 

Langkah agar Tidak Terjabak Kebiasaan Onani

Majelis Tarjih PP Muhammadiyah lantas memberikan beberapa langkah yang dianjurkan agar setiap muslim menjauhi dan terhindar dari perbuatan onani ini, di antaranya sebagai berikut:

  • Menyibukkan diri dengan kegiatan atau aktivitas yang bermanfaat.
  • Menjauhi hal-hal yang dapat mengarah dan menyebabkan maksiat dan nafsu syahwat seperti bacaan, film, dan media yang berbau pornografi dan lain-lainnya.
  • Menikah jika seseorang tersebut sudah mampu. Namun jika belum mampu, sebagaimana Rasulullah saw. menganjurkannya untuk berpuasa. Wallahu ‘alam bish-shawâb.




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x