JAKARTA, KOMPAS.TV - Onani adalah perbuatan yang tak pantas dilakukan, terlebih di bulan puasa. Meski sebagian ulama ada yang menyebutnya makruh dan sebagian mengharamkannya. Namun bagaimana hukum onani bila dilakukan saat puasa?
Dikutip dari Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammmadiyah dalam Majalah Suara Muhammadiyah, No.11, 2010 disebutkan, ketika berpuasa, jelas puasanya batal berdasarkan pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan onani menjadi makruh jika dilakukan di waktu biasa. Mereka juga menganjurkan untuk tidak melakukannya, baik di waktu biasa, malam hari terlebih di waktu Ramadan.
Bagaimana penjelasannya?
Onani (istimnâ’ dalam bahasa Arab) adan masturbasi bagi perempuan adalah (perbuatan) mengeluarkan mani bukan melalui jalan persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang lainnya (Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, vol. I: 65).
Dijelaskan pula, dalam kitab-kitab fikih, Majalis Tarijih PP Muhammadiyah cenderung pada kesimpulan bahwa onani adalah mengeluarkan mani atau sperma dengan disengaja dan dilakukan dengan menggunakan tangan, baik tangannya sendiri, tangan istri atau tangan budak perempuannya ketika syahwat sedang muncul dan atau memuncak.
Mengenai perbuatan ini, para fuqaha membahasnya dalam kitab-kitab fikih karangan mereka terbagi menjadi beberapa kelompok yang saling berbeda pendapat soal hukum onani.
Baca Juga: Mimpi Basah Siang Hari Batalkan Puasa? Berikut Penjelasannya
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah lantas menjelaskan pelbagai mazhab dan ulama-ulama yang berbeda pendapat soal hukum onani ini.
Argumentasi mereka adalah bahwa Allah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam semua perilaku, kecuali untuk istri dan budak yang dihalalkan (milku al-yamîn).
Jika seseorang melampaui dua hal ini dan dia beronani, maka dia dianggap seperti kaum Ad yang melampaui batas dari apa yang dihalalkan Allah dan melakukan sesuatu yang diharamkan. Allah berfirman:
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” [QS. al-Mu’minun (23): 5-7]
Pendapatnya adalah, bahwa onani haram dalam kondisi tertentu dan wajib dalam kondisi yang lain.
“Onani menjadi wajib, jika dia takut melakukan zina kalau tidak beronani, sesuai dengan kaidah fikih yang artinya: Mengambil perbuatan teringan dari dua mudarat (bahaya yang ada),” bunyi penjelasan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah.
Sedangkan mereka yang mengatakan haram, jika dilakukan untuk memancing nafsu.
“kecuali jika dia takut terjebak dalam perzinaan atau takut atas kesehatannya, sementara dia belum mempunyai pasangan. Dia juga tidak mampu untuk menikah. Maka dalam kondisi seperti ini dia dibolehkan beronani,” bunyi penjelasan Majelis Tarjih PP Muhammadyah.
Selain ketiga kelompok di atas, terdapat pendapat independen dari beberapa sahabat, tabi’in dan ulama lainnya di antaranya: Abdulah bin Umar ra., Abdulah bin Abbas ra., Atha’, al-Hasan, dan Ibnu Hazm. Ibnu Abbas ra. dan al-Hassan membolehkannya.
“Dari berbagai macam pendapat di atas, hemat kami bahwa onani hukumnya adalah makruh karena cenderung tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Dan dalam kondisi tertentu dibolehkan, namun tidak boleh dilakukan secara rutin atau terus menerus,” bunyi penjelasan itu.
Kondisi tertentu itu antara lain seperti untuk kasus sepasang suami-istri yang terpisahkan tempat tinggalnya. Para sahabat pun dalam sebuah riwayat pernah melakukan onani ketika sedang bepergian melakukan perang.
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah lantas memberikan beberapa langkah yang dianjurkan agar setiap muslim menjauhi dan terhindar dari perbuatan onani ini, di antaranya sebagai berikut:
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.