Balimau sendiri bermakna mandi dengan menggunakan air yang di campur jeruk yang oleh masyarakat Kampar sendiri disebut limau. Jeruk yang biasa digunakan adalah jeruk purut, jeruk nipis, dan jeruk kapas.
Sedangkan kasai adalah wangi-wangian yang biasanya dipakai kewajah dan tangan atau semacam lulur.
Bagi masyarakat Kampar pengharum badan (kasai) ini dipercayai dapat mengusir segala macam rasa dengki yang ada dalam kepala, sebelum memasuki bulan puasa.
Melansir dari bpad.jogjaprov.go.id, nama dugderan berasal dari kata ‘dugder’ yang merupakan gabungan dari dua kata, yaitu ‘dug’ (bunyi bedug yang ditabuh)’ dan ‘der’ (bunyi tembakan meriam).
Bunyi dugder melambangkan bahwa akan datangnya awal Ramadan. Sebagaimana dijelaskan dalam ppid.semarangkota.go.id, tradisi dugderan sudah dimulai pada 1881, tepatnya saat masa pemerintahan Bupati Semarang yaitu Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat.
Dugderan muncul karena perbedaan pendapat masyarakat mengenai kesepakatan awal dimulainya puasa di bulan suci Ramadan.
Kemudian, dicapailah sebuah kesepakatan guna menyamakan persepsi masyarakat dalam menentukan awal Ramadan, yaitu melalui tabuhan bedug di Masjid Agung Kauman dan meriam di halaman kabupaten.
Bedug dan meriam dibunyikan masing-masing tiga kali dan dilanjutkan dengan pengumuman awal puasa di masjid.
Ikon unik dari pelaksanaan dugderan yaitu keberadaan warak ngendog. Sejatinya, warak ngendog merupakan seni kerajinan masyarakat Semarang berupa permainan anak-anak yang dijual saat pasar malam dugderan.
Warak ngendog terbuat dari bahan-bahan seperti kayu, kertas minyak warna-warni, bambu, kertas karton, dan lain-lain.
Baca Juga: Kapan Puasa Ramadan 1443 H? Ini Jadwal dan Link Live Streaming Sidang Isbat 2022
Nyadran dilakukan dengan bersih-bersih makam para orang tua atau leluhur, membuat dan membagikan makanan tradisional, serta berdoa atau selamatan bersama di sekitar area makam.
Kata Nyadran berasal dari kata 'Sraddha' yang bermakna keyakinan. Nyadran menjadi bagian penting bagi masyarakat Jawa sebab para pewaris tradisi ini menjadikan Nyadran sebagai momentum untuk menghormati para leluhur dan ungkapan syukur kepada Sang Pencipta.
Biasanya, Nyadran diadakan satu bulan sebelum dimulainya puasa, atau pada 15, 20, dan 23 Ruwah. Nyadran dijadikan simbol dari pembersihan diri menjelang Bulan Suci Ramadan.
Bukan hanya hubungan manusia dengan Sang Pencipta, Nyadran dilakukan sebagai bentuk bakti kepada para pendahulu dan leluhur. Kerukunan serta hangatnya persaudaraan sangat terasa setiap kali tradisi Nyadran berlangsung.
Munggahan adalah tradisi masyarakat Islam suku Sunda untuk menyambut datangnya bulan Ramadan. Acara ini biasanya dilakukan pada akhir bulan Sya’ban, satu atau dua hari menjelang Ramadan.
Bentuk pelaksanaannya bervariasi, umumnya berkumpul bersama keluarga dan kerabat, makan bersama dan saling bermaafan serta berdoa bersama.
Selain itu, ada pula yang mengunjungi tempat wisata bersama keluarga, berziarah ke makam orang tua atau orang saleh, serta mengamalkan sedekah munggah (sedekah pada sehari menjelang bulan puasa)
Munggahan berasal dari Bahasa Sunda, Unggah artinya naik, memiliki makna bulan yang suci atau tinggi derajatnya.
Orang Sunda yang merantau biasanya akan mudik terlebih dulu pada awal Ramadan. Hal itu mereka lakukan untuk bisa munggahan di kampung bersama keluarga.
Disitulah manfaat dari tradisi Munggahan ini terlihat, yaitu sebagai bentuk silaturahmi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.