JAKARTA, KOMPAS.TV- Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah memberikan subsidi pupuk untuk petani kelapa sawit. Pasalnya, saat ini harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit sedang menurun namun harga pupuk melonjak tajam hingga 400 persen.
"Harga Tandan Buah Segar (TBS) Rp 5.000 kami enggak masalah. Tetapi persoalannya, harga pupuk naik, dulunya cuma Rp 300.000 per sak, sekarang kok Rp 1,1 juta-1,2 juta, TBS-nya menurun," kata Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung saat dihubungi KOMPAS.TV, Kamis (26/1/2023).
Dengan kondisi itu, Gulat menyebut kondisi petani sawit sangat disulitkan. Meskipun banyak pihak yang menilai petani sawit diuntungkan dengan tren kenaikan harga minyak sawit mentah atau CPO dunia.
"Saya pikir hanya orang pikun lah yang mengatakan petani sawit bahagia," ujar Gulat.
Gulat pun meminta agar pemerintah jangan hanya memberikan subsidi kepada pengusaha minyak goreng saja. Sedangkan petani sawit yang merupakan bahan baku minyak goreng, tidak mendapat subsidi.
Baca Juga: Malaysia Pertimbangkan Setop Ekspor Minyak Kelapa Sawit ke Uni Eropa, Ini Alasannya
Ia pun menyinggung pernyataan Presiden Joko Widodo, agar kebijakan pemerintah harus seimbang dan merangkul semua kepentingan pelaku ekonomi.
"Seperti kata pak Joko Widodo (Jokowi) setara itu harus seimbang, tidak boleh berpihak. Jangan hanya melihat kepentingan yang satu, tetapi kepentingan yang lain tidak diperhatikan," ucap Gulat.
Gulat mengungkapkan, saat ini pemerintah hanya memberikan pupuk subsidi kepada petani yang menanam produk pangan. Sehingga saat harga pupuk meroket, petani sawit hanya bisa gigit jari.
"Bapak mungkin tidak mengerti, atau belum tahu bahwa pupuk subsidi tidak ada untuk perkebunan itu nol, yang dikasih subsidi hanya tanaman pangan. Itu fakta yang mengatakan bahwa sawit itu lelah gerbong. Jadi jangan satu sisi kami disuruh untuk produksi tinggi tapi di sisi lain pupuk digembosi oleh Kemendag," tutur Gulat.
Sebagai informasi, Kementerian Pertanian (Kementan) memang tidak memasukkan kelapa sawit dalam sembilan komoditas yang mendapatkan pupuk bersubsidi. Pemerintah lebih fokus memberikan pupuk subsidi pada komoditas perkebunan yang produktivitasnya perlu ditingkatkan, sehingga bisa menggenjot ekspor atau mengurangi impor dari negara lain.
Sembilan komoditas yang mendapat pupuk subsidi adalah padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kopi, dan kakao. Dengan demikian, hanya ada tiga komoditas perkebunan yang mendapatkan pupuk subsidi yaitu kakao, kopi, dan tebu.
Baca Juga: Eropa Larang Impor CPO Hasil Deforestasi, GAPKI: Tidak Takut, Masih Ada Pasar yang Lain
Pemerintah ingin mendorong produktivitas ketiga komoditas tersebut agar dapat bersaing di pasar internasional. Pemberian pupuk subsidi pada kakao dan kopi merupakan bagian dari Gerakan Tiga Kali Ekspor yang dicanangkan Kementan.
Sedangkan kelapa sawit saat ini sudah menjadi salah satu komoditas unggulan ekspor Indonesia. Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit mentah dunia.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat kinerja industri sawit stagnan dalam empat tahun terakhir.
“Ini sudah tahun keempat Indonesia tidak tumbuh atau stagnan, padahal kebutuhan domestik terus meningkat,” kata Ketua Umum Gapki Joko Supriyono dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (25/1), seperti dikutip dari Antara.
Joko menuturkan, bahwa kondisi stagnan industri sawit terlihat dari penurunan produksi dan nilai ekspor. Tercatat produksi CPO atau minyak kelapa sawit di 2022 mencapai 46,28 juta ton atau lebih rendah dari 2021 yang mencapai 46,88 juta ton.
Begitu juga dengan ekspor 2022 sebesar 30,8 juta ton atau lebih rendah dari 2021 yang sebesar 33,76 juta ton dan merupakan tahun ke-4 berturut-turut ekspor turun dari tahun ke tahun.
Namun nilai ekspor tahun 2022 mencapai 39,28 miliar dolar AS untuk CPO, olahan dan turunannya, lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar 35,3 miliar dolar AS.
Baca Juga: Gugatan PT MSU Terhadap Konsumen Meikarta: Minta Maaf di Koran Nasional hingga Ganti Rugi Rp56 M
“Ini terjadi karena memang harga produk sawit tahun 2022 relatif lebih tinggi dari tahun 2021,” sebut Joko.
Penurunan produksi dan ekspor industri sawit, lanjutnya, disebabkan oleh tahun 2022 yang diwarnai dengan kejadian-kejadian tidak biasa. Diantaranya cuaca ekstrim basah yang mengganggu aktivitas serangga penyerbuk, pupuk yang mahal dan sulit diperoleh, hingga pelarangan ekspor yang menyebabkan buah tidak dapat dipanen hingga beberapa bulan ke depan akibat stok yang masih tinggi.
“Tahun ini memang paling tidak normal, mudah-mudahan ini bisa kita manage sehingga dinamika yang terlalu bergejolak seperti itu tidak terjadi lagi di tahun ini, khususnya ekspor dan produksi,” ujarnya.
Kendati demikian, konsumsi dalam negeri tumbuh dibanding 2021 dari yang sebelumnya 18,42 juta ton menjadi 20,97 juta ton. Konsumsi tersebut didominasi industri pangan 9,94 juta ton dari yang sebelumnya 8,9 5juta ton, lalu industri oleokimia naik dari 2,13 juta ton menjadi 2,19 juta ton dan konsumsi biodisel yang mencapai 8,84 juta ton pada 2022 dari yang sebelumnya 7,34 juta ton.
Adapun Gapki memperkirakan kondisi yang mempengaruhi industri sawit sepanjang tahun 2022 diperkirakan masih akan mempengaruhi kinerja sawit 2023.
“Produksi diperkirakan masih belum akan meningkat, sementara konsumsi dalam negeri diperkirakan akan meningkat akibat penerapan kewajiban Biodesel B35 mulai 1 Februari 20223,” tutur Joko.
Sumber : Kompas TV, Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.