JAKARTA, KOMPAS.TV- Pabrik sepatu PT Nikomas Gemilang yang berbasis di Serang, Banten, menawarkan pengunduran diri terhadap 1.600 pekerjanya.
Humas Nikomas Gemilang Danang Widi menyatakan, hal itu dilakukan perusahaan mendapat tekanan dari banyak faktor.
Diantaranya konflik Rusia-Ukraina yang masih terjadi hingga sekarang, kenaikan harga bahan bakar secara global, tingkat inflasi yang tinggi.
Selama ini Nikomas mengeskpor produknya ke berbagai negara. Namun tekanan ekonomi global membuat pesanan sepatu menurun drastis. Hal itu terjadi saat harga bahan baku melambung.
"PT Nikomas Gemilang telah menempuh berbagai cara untuk bertahan di tengah kondisi perekonomian global yang penuh tantangan, namun demi keberlangsungan perusahaan, dengan berat hati PT Nikomas Gemilang menawarkan pengunduran diri sukarela kepada karyawan dengan kuota 1.600 orang," kata Danang seperti dikutip dari Kompas.com, Rabu (11/1/2023).
Danang menjelaskan, faktor-faktor di atas datang saat perusahaan belum pulih dari pandemi. Nikomas sebelumnya sudah melakukan PHK kepada karyawannya, sejak kuartal ketiga 2021.
Baca Juga: Kemnaker Bantah Perppu Cipta Kerja Membolehkan Perusahaan PHK Pekerja Secara Sepihak
Sebelum menawarkan karyawan resign, Danang mengaku perusahaan sudah melakukan berbagai cara. Namun belum mengurangi beban perusahaan.
"Ya, berbagai hal telah kami lakukan seperti stop rekrutmen, tidak ada lembur, pengurangan jam kerja dan program cuti khusus namun tidak dapat kami hindari dan dengan dengan berat hati kami harus melaksanakan program pengunduran diri sukarela,"
tuturnya.
Ia menegaskan, Nikomas akan memberikan hak karyawan yang mengikuti program pengunduran diri tereebut, sesuai UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, dan Perjanjian Kerja Bersama.
"Semoga PT Nikomas Gemilang dapat mengatasi kesulitan selama ini dan bangkit kembali. Semoga kita semua diberikan kesehatan dan keselamatan oleh Yang Maha Kuasa," ucapnya.
Baca Juga: Perppu Cipta Kerja: Pesangon untuk Karyawan Kena PHK Diberikan Paling Banyak 9 Kali Gaji
Diberitakan KOMPAS.TV sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memprediksi tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal masih akan terjadi di 2023.
PHK bukan hanya terjadi di startup atau perusahaan teknologi. Tapi juga di industri padat karya yang berorientasi ekspor seperti garmen, alas kaki, dan tekstil.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, permintaan terhadap produk ketiga sektor tersebut menurun karena ekonomi global melemah. Khususnya China, Amerika Serikat, dan Eropa yang selama ini menjadi pangsa pasar utama mereka.
"Kemungkin bahwa PHK itu terus berlanjut dalam arti kata yang terkait dengan komoditas ekspor masih belum bisa kita prediksi apakah ada rebound di kuartal 2 tahun depan. Mudah-mudahan permintaan komoditas ekspor akan bertambah sehingga akan memberikan dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja," kata Hariyadi Sukamdani.
Ia mengungkapkan, untuk sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki terjadi penurunan permintaan hingga 30-50 persen untuk pengiriman akhir tahun 2022 sampai kuartal I-2023.
Baca Juga: Soal PPh Natura, Pengamat Saran Pemerintah Sebutkan Detail Fasilitas Kantor yang Dipajaki
Karena pesanan menurun, mereka mengurangi produksi dan juga mengurangi jam kerja pegawai hingga PHK. Berdasarkan laporan dari industri garmen, tekstil dan alas kaki telah terjadi PHK atas 87.236 pekerjanya hanya dari 163 perusahaan.
"Selain itu BPJS Ketenagakerjaan juga mencatat telah terjadi PHK terhadap 919.071 pekerja yang mencairkan dana JHT (Jaminan Hari Tua) akibat PHK dari Januari-1 November 2022," ujarnya.
Hariyadi menyebut, tren PHK di Indonesia terus meningkat sejak 2019 atau sebelum pandemi. Yakni dari 376.456 pada 2019, kemudian meningkat menjadi 679.678 pada 2020 dan naik lagi jadi 922.756 pada 2021.
Tahun ini, Apindo memprediksi jumlah PHK akan lebih besar dari 2021. Meski pandemi sudah mereda, Perang Rusia-Ukraina telah membuat pelemahan ekonomi dunia.
Di sisi lain, penciptaan lapangan kerja terus berkurang akibat minimnya investasi padat modal dan pemanfaatan teknologi.
Baca Juga: Harga Mobil Toyota Naik Termasuk Calya, Berikut Daftar Terbaru Tahun 2023
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dalam 7 tahun terakhir daya serap tenaga kerja terus mengalami penurunan. Pada 2013, Rp 1 triliun investasi bisa menyerap sebanyak 4.594 tenaga kerja. Sementara pada 2021, Rp 1 triliun investasi hanya menyerap 1.340 tenaga kerja.
Kemudian, pencari kerja dengan keterampilan rendah lulusan SD hingga SMA akan semakin tersisih dalam memperebutkan pekerjaan dari sektor usaha formal yang memiliki kepastian pendapatan.
Semua hal itu membuat perusahaan akan lebih bersedia mempekerjakan tenaga kerja dengan pendidikan yang lebih tinggi dan bersedia dibayar dengan UMP atau UMK.
"Ini menyebabkan pencari kerja dengan keterampilan rendah lulusan SD-SMP-SMA semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan," ucapnya.
Banyaknya pengangguran, lanjut Hariyadi, membuat bantuan sosial untuk masyarakat marjinal semakin membebani anggaran pemerintah yang menghambat pembangunan.
Baca Juga: Gudang Penyimpanan Mainan di Bandung Terbakar, 15 Unit Mobil Damkar Diterjunkan ke Lokasi
"Semakin merosotnya daya serap tenaga kerja di sektor formal dibandingkan meningkatnya jumlah penduduk berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan gizinya," tuturnya seperti dikutip dari Antara.
Menurut dia, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2023, Pemerintah dinilai perlu konsisten dalam menjalankan sejumlah agenda reformasi ekonomi struktural sebagaimana tercermin dalam substansi UU Cipta Kerja.
"Berbagai masalah inkonsistensi kebijakan mutlak perlu ditindaklanjuti dengan cepat. Kebijakan populis yang menghancurkan reformasi struktural jangka menengah-panjang harus dikoreksi," ujar Haryadi.
Selain itu, dukungan kelembagaan harus dijalankan secara efektif dan efisien untuk menjaga momentum pemulihan di tengah ancaman resesi global.
Sumber : Kompas.com, Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.