“Empar kali dilaporkan nilainya Rp66 miliar. Kita rata-rata dan asumsi, mereka keluar tidak mungkin tidak dalam kerangka membawa uang. Kalau Rp66 miliar dibagi 4, sekali tenteng Rp15 miliar, ada bolong 150 kali dia tidak melaporkan,” tutur Ivan.
Sehingga, dengan asumsi orang tersebut membawa Rp15 miliar sekali masuk ke Indonesia, kemudian dikalikan 150 kunjungan di mana yang bersangkutan tak melaporkan uangnya, maka totalnya bisa mencapai Rp 225 triliun.
Baca Juga: PPATK Bekukan 150 Rekening Reza Paten dari 25 Bank, Buntut Kasus Robot Trading Net89
“CBCC yang PPATK terima itu angkanya, frekuensinya itu jauh diangka PRM-nya,” ujar Ivan.
Upaya mencegah terjadinya pencucian uang dan pendanaan terorisme juga dilakukan oleh lembaga lainnya. Salah satunya Kementerian Keuangan.
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani yang juga hadir secara virtual menyampaikan, pihaknya telah mengeluarkan Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 100/PMK.04/2018.
“Kebijakan itu mengatur tata cara pemberitahuan, pengawasan, indikator yang mencurigakan, pembawaan uang tunai, dan/atau instrumen pembayaran lain,” ujar Sri Mulyani.
Indonesia saat ini juga tengah dalam proses untuk menjadi anggota organisasi anti pencucian uang dan pendanaan terorisme, atau Financial Action Task Force on Money Laundering and Terrorism Financing (FATF).
Baca Juga: Pengacara Brigadir J Minta PPATK Telusuri Transaksi Sambo dan Ajudan, Sampai Setahun ke Belakang
Ada potensi pajak dari harta yang disembunyikan di luar negeri yang dapat terungkap apabila Indonesia menjadi anggota tetap FATF. Manfaat lain dari masuknya RI sebagai anggota tetap FATF adalah meningkatnya investasi ke Indonesia.
Pasalnya, Indonesia akan diakui sebagai negara yang transparan. Sehingga tidak lagi termasuk ke dalam negara yang memiliki risiko tinggi untuk dijadikan lokasi pembangunan usaha.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.