Hal itu juga menyebabkan pelaku pasar khawatir utang Inggris akan kembali meningkat. Di mana saat ini rasio utangnya sudah lebih 100 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Baca Juga: Ancaman Resesi Global 2023, Ekonom: Tetap Konsumsi dan Belanja Seperti Biasa
"Itu lebih spesifik karena policy mereka sendiri, tetapi juga bisa mempengaruhi sentimen karena kejadiannya berurutan pada saat Federal Reserve di AS menaikkan (suku bunga) 75 basis poin. Jadi itu menimbulkan kombinasi dua sentimen yang men-drive selama seminggu ini," kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Sri Mulyani mengatakan, kondisi perekonomian suatu negara pasti disebabkan oleh kebijakan otoritas negara tersebut. Walaupun, kondisi ekonomi internal suatu Negara juga terdampak oleh perekonomian global.
Oleh karena itu, pemerintah akan terus memperhatikan dinamika yang terjadi.
"Setiap negara punya situasi khusus masing-masing. Kalau kita lihat apa yang terjadi di Inggris itu tentu pertama akan menimbulkan sentimen kepada seluruh dunia," ujarnya.
Optimisme Sri Mulyani terhadap ketahanan ekonomi Indonesia karena melihat beberapa indikator. Seperti pertumbuhan ekonomi yang terjaga positif, pada kuartal I-2022 tercatat tumbuh 5,01 persen, berlanjut di kuartal II-2022 tumbuh di 5,44 persen.
Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Dunia Bakal Resesi di 2023, Ini Pilihan Investasi yang Tahan Krisis Ekonomi
Pemerintah juga yakin pemulihan berlanjut di kuartal III-2022 dengan mampu tumbuh di kisaran 5,6 persen-6 persen yang ditopang oleh kinerja ekspor, konsumsi, dan investasi. Oleh sebab itu, perekonomian Indonesia dalam posisi yang relatif jauh lebih baik.
"Penerimaan negara yang kuat, belanja yang tetap bisa kita jaga secara hati-hati, sehingga issuance atau penerbitan dari surat berharga kita jauh lebih rendah 40 persen, menurun sangat tajam. Ini juga menempatkan kita dalam posisi tidak terlalu vulnerable (rentan) terhadap gejolak yang diakibatkan berbagai sentimen tadi," papar Sri Mulyani.
APBN yang kuat, lanjut Sri Mulyani, juga mampu menjadi peredam atau shock absorber, bukan menjadi menjadi sumber masalah baru atau shock producer. Maka dari itu, pemerintah perlu mengelola APBN dengan sangat hati-hati, fleksibel, dan akuntabel.
"APBN kalau tidak kuat, tidak akan mungkin melakukan fungsi sebagai shock absorber, bahkan bisa jadi shock producer. Nilai tukar (poundsterling) yang jatuh sampai 20 persen, itu adalah karena APBN-nya (Inggris) menjadi shock producer," ujarnya.
Baca Juga: Erick Thohir: Singapura Kekurangan Ayam, Indonesia yang Selamatkan
Sementara itu, Bank Indonesia menyebut Indonesia memiliki keunggulan yang tidak dimiliki negara lain. Yakni sinergi antara bank sentral sebagai otoritas moneter dengan pemerintah sebagai otoritas fiskal.
Tidak seperti Kementerian Keuangan Inggris yang membuat kebijakan yang bertentangan dengan Bank Sentral Inggris.
"Pemerintah sebagai otoritas fiskal membantu menyerap dampak imported inflasi, sehingga dampaknya kepada masyarakat bisa ditekan," tutur Kepala Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Solikin M Juhro, saat menjadi narasumber dalam program Kompas Bisnis (3/10/2022).
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.