Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Dunia Bakal Resesi di 2023, Ini Pilihan Investasi yang Tahan Krisis Ekonomi
Sehingga jika ada resesi dunia yang menyebabkan permintaan ekspor melemah, tidak akan terlalu mempengaruhi ekonomi RI. Menurut Piter, Indonesia saat ini justru sedang dalam masa euforia setelah pandemi mereda.
"Lihat saja banyak yang mulai belanja, mulai kembali ke mall, konsumsi kita naik," ujar Piter.
Ia kemudian menyebut Indeks keyakinan konsumen terbaru yang skornya berada di atas 100 dan indeks manufaktur (PMI) yang skornya berada di atas 50. Dua indeks itu bisa dibilang sebagai indikator geliat ekonomi Indonesia.
"Skornya semua naik. Artinya mobilitas masyarakat mulai pulih karena tidak ada ketakutan akan pandemi lagi," ucapnya.
Penulis pun menyodorkan fakta jika saat ini harga-harga bahan pangan masih tinggi. Lalu produsen tempe yang mengecilkan ukuran produknya, padahal tempe adalah makanan sehari-hari masyarakat Indonesia. Kemudian riset terbaru konsultan properti Colliers yang mengungkap penjualan properti tahun ini, anjlok dibanding tahun lalu.
Baca Juga: Selain Sri Lanka dan Inggris, Ini Daftar Belasan Negara yang Alami Krisis Ekonomi
Piter lalu menjawab jika kenaikan harga bukan terjadi saat ini saja, saat ada ancaman resesi global. Ia mengatakan jika kenaikan harga pangan sudah terjadi sejak tahun lalu dan banyak di antaranya yang sudah menurun. Misalnya harga telur ayam.
Kemudian untuk ukuran tempe yang kian mengecil, ia menilai itu karena mahalnya harga kedelai impor. Masalahnya terletak pada Indonesia yang tidak bisa menghidupkan pertanian kedelai dalam negeri, sehingga terus bergantung pada impor.
Bahkan kenaikan harga BBM, lanjut Piter, tidak serta merta membuat inflasi meroket seperti yang ditakutkan sebelumnya.
"Kenaikan harga itu karena gejolak dinamika pasar. BBM naik tadinya inflasi diperkirakan tinggi banget, tapi ternyata masih aman. Tadinya diperkirakan tembus 8 persen, tapi ternyata hanya 5,9 persen," tutur Piter.
"Jika ada kenaikan harga, yang paling terdampak itu memang masyarakat golongan bawah. Tapi tingkat konsumsi yang dihitung itu bukan dari belanja tempe, melainkan dari belanja barang-barang yang mahal dan mewah. Itu perhitungan BPS," jelas Piter.
Baca Juga: Izin HGB di IKN Bisa Sampai 160 Tahun, Hadi Tjahjanto: Untuk Menarik Investor
"Jadi bukan ditentukan oleh konsumsi tempe, tapi konsumsi barang mewah," lanjutnya.
Ia kemudian mencontohkan, saat pandemi tingkat konsumsi Indonesia negatif. Indonesia juga pernah mengalami resesi teknikal pada tahun 2020, yaitu saat pertumbuhan ekonomi di kuartal II dan kuartal III negatif berturut-turut.
"Padahal saat itu kita tetap makan kan, tetap beli tempe dan tahu kan. Nah kenapa konsumsi disebut negatif? Karena kelompok menengah atas tidak belanja, tidak liburan," sebutnya.
Piter tidak memungkiri memang ada pelemahan di sektor properti. Namun menurutnya itu pelemahan sektoral, karena sektor properti sudah melemah sejak pandemi melanda.
"Orang beli apartemen itu rata-rata buat investasi, buat di sewain. Lah kalau masyarakat nya pas pandeni tidak bekerja dari kantor, siapa yang mau tinggal di apartemen?," katanya.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.