JAKARTA, KOMPAS.TV- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) menjadi alat untuk menurunkan angka kemiskinan di Indonesia pada 2023. Salah satunya dengan perbaikan data yang akan dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu melalui Regsosek (Registrasi Sosial dan Ekonomi).
“Upaya kita mengidentifikasi masyarakat miskin melalui survei Registrasi Sosial dan Ekonomi (Regsosek) sehingga semua instrumen APBN kita bisa jauh lebih fokus kepada kelompok miskin,” kata Sri Mulyani seperti dikutip dari Antara, Kamis (29/9/2022).
Ia menjelaskan, perbaikan data ini akan membantu pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial maupun dana desa dan dana alokasi khusus (DAK) nonfisik kepada masyarakat secara lebih akurat.
Penurunan angka kemiskinan ini juga menjadi tanggung jawab dan target dari seluruh kementerian, lembaga, dan daerah.
“Kalau kita punya langkah yang sama kita berharap ini bisa menurunkan secara jauh lebih sistematik dan akuntabel,” ujarnya.
Baca Juga: Tarif Ojol Naik, Indef: Tenaga Kerja Bisa Turun dan Penduduk Miskin Bertambah 0,14 Persen
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menambahkan, target kemiskinan dalam indikator pembangunan tahun 2023 mencapai sekitar 7,5 persen sampai 8,5 persen.
Ia yakin target tersebut akan tercapai selama didukung oleh kebijakan-kebijakan yang kuat, termasuk perlindungan sosial seperti program keluarga harapan (PKH) dan bantuan sosial.
Namun, Febrio menyebut komitmen menekan angka kemiskinan bukan hanya upaya dalam jangka pendek. Melainkan jangka panjang karena pemerintah harus mempertebal daya tahan masyarakat.
“Ini tentu membutuhkan kerja sama dan kolaborasi yang sangat erat, mulai dari pusat sampai daerah,” ucapnya.
Sebagai informasi, Bank Dunia (World Bank) baru saja memperbarui hitungan paritas daya beli (purchasing power parities/PPP) untuk menentukan garis kemiskinan Internasional pada musim gugur 2022.
Baca Juga: Indef: BBM Naik Bikin Tingkat Kemiskinan Lebih Tinggi Dibanding Saat Pandemi
Seperti diberitakan Kompas TV sebelumnya, perubahaan garis kemiskinan tersebut mengakibatkan sebanyak 13 juta orang kelas menengah bawah di Indonesia menjadi jatuh miskin.
Hal itu berdarkan laporan Bank Dunia bertajuk 'East Asia and The Pacific Economic Update October 2022: Reforms for Recovery'. Basis perhitungan baru itu berdasarkan PPP 2017. Sementara basis perhitungan yang lama adalah PPP 2011.
Mengacu PPP 2017, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$ 2,15 atau Rp 32.755 per orang per hari (asumsi kurs Rp 15.235). Sebelumnya garis kemiskinan ekstrem di level US$ 1,90 per orang per hari.
Akibatnya, batas kelas penghasilan menengah ke bawah (lower middle income class) naik dari US$ 3,20 menjadi US$ 3,65 per orang per hari.
Batas penghasilan kelas menengah ke atas (upper middle income class) juga naik dari US$ 5,50 menjadi US$ 6,85 per orang per hari.
Baca Juga: Di Dubai yang Kaya Raya, Orang Miskin Dapat Sedekah Roti Gratis dari Mesin
Dengan perhitungan baru ini, sebanyak 33 juta orang kelas menengah bawah di Asia turun kelas menjadi miskin.
"Indonesia dan China menjadi negara dengan penurunan kelas menengah bawah dan atas terbanyak," bunyi laporan tertulis Bank Dunia.
Tercatat ada 13 juta orang kelas menengah bawah di Indonesia yang turun level menjadi miskin. Sementara, di China ada 18 juta orang kelas menengah bawah turun kelas menjadi miskin.
Untuk kelas menengah atas di Indonesia, ada 27 juta orang yang turun kelas. Sedangkan orang kelas menengah atas di China yang turun kelas mencapai 115 juta orang. Secara keseluruhan ada 174 juta orang kelas menengah atas di Asia yang turun kelas.
Perubahan PPP ini disebabkan oleh faktor utama, yakni perubahan tingkat harga di beberapa negara yang berhubungan dengan Amerika Serikat.
Harga yang lebih tinggi berimbas pada penurunan daya beli, sehingga menyebabkan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi.
Baca Juga: Beda dari Resesi Ekonomi, RI Pernah Alami Krisis Ekonomi Parah pada 1998
Contohnya, negara di kawasan Asia Timur Pasifik (East Asia Pacific/EAP) memiliki produk dan jasa lebih mahal dibandingkan AS pada 2017, dan harga tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2011.
Bank Dunia menilai negara berpenghasilan menengah ke atas memiliki definisi kemiskinan secara relatif, artinya penetapan kemiskinan bisa berubah seiring perubahan pola konsumsi dan peningkatan pendapatan.
Bank Dunia dalam studi Juni 2022 memperkirakan adanya kenaikan angka kemiskinan sebesar 0,2 poin persen akibat kenaikan harga komoditas di dalam negeri, yang dipicu oleh pergerakan harga komoditas global.
Namun Maret 2022 lalu, Kementerian Keuangan menyatakan angka kemiskinan menurun. Ambang batas garis kemiskinan Indonesia memang meningkat 4,0 persen seiring meningkatnya berbagai risiko perekonomian pada Maret 2022 menjadi Rp505.469 dari Rp486.168 pada September 2021.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.