SOLO, KOMPAS.TV – Belakangan ini mungkin sering terdengar istilah resesi, di media massa baik portal berita maupun di televisi juga media sosial. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani membahas kemungkinan Indonesia mengalami resesi.
Hal itu menyusul hasil survei Bloomberg yang mengungkapkan sederet negara yang berpotensi masuk jurang resesi, termasuk Indonesia. Namun, Sri Mulyani menegaskan survei tersebut menunjukkan indikator ekonomi Indonesia masih jauh lebih baik dari negara-negara lain.
"Itu menggambarkan bahwa dari indikator neraca pembayaran kita, APBN kita, ketahanan dari GDP, juga dari sisi korporasi maupun dari rumah tangga serta monetery policy kita relatif dalam situasi yang tadi disebutkan risikonya tiga persen atau masih jauh, dibandingkan negara lain yang potensi untuk bisa mengalami resesi jauh di atas 70 persen," kata Sri Mulyani dalam konferensi virtual di Bali, dikutip Kamis (14/7/2022).
Lalu, apa itu yang dimaksud resesi? Dari banyak definisi, resesi ekonomi atau biasa hanya disebut resesi, secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu kondisi perekonomian suatu negara sedang memburuk yang terlihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang negatif, pengangguran meningkat, maupun pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Melansir dari Kompas.com, resesi ekonomi adalah pelambatan atau kontraksi besar dalam kegiatan ekonomi. Sementara itu mengutip The Balance, resesi artinya penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung dalam beberapa bulan, umumnya dalam tiga bulan lebih.
Sejumlah indikator yang bisa digunakan suatu negara dalam keadaan arti resesi antara lain terjadi penurunan pada PDB, merosotnya pendapatan riil, jumlah lapangan kerja, penjualan ritel, dan terpuruknya industri manufaktur.
Baca Juga: RI Masuk Daftar Negara Terancam Resesi Bareng Sri Lanka, Sri Mulyani Bilang Begini
Pengertian resesi juga lazim untuk pertumbuhan ekonomi bisa sampai 0 persen, bahkan minus dalam kondisi terburuknya. Pertumbuhan ekonomi selama ini jadi indikator utama dalam mengukur perkembangan dan kemajuan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diwakili oleh naiknya PDB.
Beruntung hingga saat ini Indonesia belum masuk ke dalam kondisi resesi. Meski demikian, pahami faktor-faktor apa saja yang menyebabkan resesi ekonomi pada suatu negara, dilansir dari laman Gramedia.com.
Inflasi merupakan proses meningkatnya harga secara terus-menerus. Inflasi sesungguhnya bukan hal yang buruk, namun inflasi yang berlebihan masuk ke dalam kategori berbahaya sebab akan membawa dampak resesi.
Bank Central AS atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) sendiri mengendalikan inflasi dengan menaikkan suku bunga, dan suku bunga yang lebih tinggi kemudian menekan aktivitas ekonomi. Meskipun menaikkan suku bunga juga beresiko mengakibatkan resesi.
Selain inflasi yang tak terkendali dapat menyebabkan resesi, deflasi juga dapat memberikan dampak yang lebih buruk. Deflasi merupakan kondisi saat harga turun dari waktu ke waktu dan yang menyebabkan upah menyusut, kemudian menekan harga.
Banyaknya investor yang panik biasanya akan segera menjual sahamnya yang kemudian memicu resesi. Hal ini disebut juga sebagai “kegembiraan irasional”.
Hal ini terjadi saat para investor yang mengambil keputusan dengan emosi. Mereka membeli banyak saham saat ekonomi sedang baik, kemudian berlomba menjualnya saat kondisi ekonomi berantakan.
Guncangan ekonomi yang mendadak dapat memicu resesi serta berbagai masalah ekonomi yang serius. Mulai dari tumpukan hutang yang secara individu maupun perusahaan.
Berkembangnya teknologi juga menyumbang faktor terjadinya resesi. Sebagai contoh pada abad ke-19, terjadi gelombang peningkatan teknologi hemat tenaga kerja.
Revolusi yang dinamakan juga revolusi Industri ini kemudian membuat seluruh profesi menjadi usang, dan memicu resesi. Saat ini beberapa ekonom khawatir bahwa Artificial Intelligence (AI) dan robot akan menyebabkan resesi lantaran banyak pekerja kehilangan mata pencahariannya.
Keseimbangan konsumsi dan produksi menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Ketika produksi dan konsumsi tidak seimbang, maka terjadilah masalah dalam siklus ekonomi. Tingginya produksi yang tidak dibarengi dengan konsumsi akan berakibat pada penumpukan stok persediaan barang.
Rendahnya konsumsi, sementara kebutuhan kian tinggi akan mendorong terjadinya impor. Hal ini kemudian akan berakibat pada penurunan laba perusahaan sehingga berpengaruh pada lemahnya pasar modal.
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikasi yang digunakan dalam menentukan baik tidaknya kondisi ekonomi suatu negara. Jika pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan maka negara tersebut masih dalam kondisi ekonomi yang kuat, begitupun sebaliknya.
Bruto, sebagai acuan produk. Jika produk domestik bruto mengalami penurunan maka dapat dipastikan bahwa pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan mengalami resesi.
Nilai impor terlalu besar disini adalah Negara yang tidak dapat memproduksi kebutuhannya sendiri kemudian mengimpor dari negara lain. Sebaliknya, negara yang memiliki kelebihan produksi dapat mengekspor ke negara yang membutuhkan komoditas tersebut.
Sayangnya nilai impor yang lebih besar dari nilai ekspor dapat berdampak pada perekonomian yaitu, defisitnya anggaran negara.
Tenaga kerja sebagai salah satu faktor yang berperan penting dalam penggerak perekonomian. Jika suatu negara tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang berkualitas bagi para tenaga kerja lokal, maka tingkat pengangguran meningkat. Resikonya adalah tingginya tingkat kriminal guna memenuhi kebutuhan hidup.
Sumber : Kompas TV/kompas.com/gramedia.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.