"Jadi perusahaan ini untuk melihat bahwa mengambil wanita di usia produktif itu menimbulkan cost. Karena cost kan yang menanggung perusahaan. Nah, ini membuat perusahaan berpikir 'wah jangan ambil yang itu deh, segmen yang itu (wanita usia produktif)," tuturnya.
Apindo sendiri sudah menyurati Pemerintah dan DPR, meminta untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut. RUU hingga menghasilkan keputusan terbaik.
Hariyadi juga menilai studi dasar atau sampling yang digunakan untuk membuat naskah akademik RUU KIA masih kurang. Sehingga pengusaha mengingatkan pemerintah dan DPR, terkait tujuan awal dibuatnya RUU KIA.
Baca Juga: HIPPI Sebut Cuti Melahirkan Enam Bulan Bikin Pengusaha Pilih Pekerja Kontrak
"Harapan kami ini perlu pendalaman supaya kita tidak mengambil keputusan yang keliru yang justru kontraproduktif kaum wanita kita yang dalam usia produktif," kata Hariyadi.
"Balik lagi ini UU buat apa sih diberlakukan? Kita lihat kalau untuk kesejahteraan ibu dan anak, bukannya yang disasar wanita yang mendapatkan akses pekerjaan layaknya kurang? Jadi ini yang menurut saya nggak bener deh," tambahnya.
Sebelumnya, Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Sarman Simanjorang mengatakan, selain memperhatikan kondisi ibu melahirkan, pemerintah juga perlu memperhatikan kondisi pengusaha.
Saran menyatakan, pemerintah harus menjaga psikologis pengusaha agar mereka memiliki kesiapan dan kemampuan jika RUU KIA disahkan.
"Pelaku usaha berharap agar pemerintah dan DPR melakukan kajian dan evaluasi yang mendalam dan komprehensif sebelum menetapkan UU tersebut karena menyangkut produktivitas tenaga kerja dan tingkat kemampuan dari masing masing pengusaha," kata Sarman dalam keterangan tertulisnya, dikutip Jumat (24/6/2022).
Baca Juga: RUU KIA Resmi Jadi Inisiatif DPR, Selangkah Lagi Cuti Melahirkan Jadi 6 Bulan
Ia menjelaskan aspek-aspek apa saja yang perlu dikaji sebelum mensahkan aturan itu.
Pertama, jika aturan cuti ini diganti maka dapat berpeluang mendorong pengusaha untuk menyiasati pekerjanya menjadi pekerja kontrak. Lantaran pengusaha harus mengeluarkan biaya operasional dalam bentuk gaji selama enam bulan terhadap pekerja yang mendapatkan cuti hamil tersebut.
Kedua, kebijakan cuti ini dapat berpotensi menurunkan peringkat produktivitas tenaga kerja Indonesia yang saat ini sudah jauh tertinggal.
Data dari Asian Productivity Organization (APO) 2020 menunjukkan, posisi produktivitas per pekerja Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia.
Bahkan posisi Indonesia berada di bawah rata-rata tingkat produktivitas tenaga kerja 6 negara Asean dan peringkat dunia, yaitu Indonesia berada diurutan 107 dari 185 negara.
Ketiga, pemerintah juga perlu memperhatikan dampak aturan ini jika diterapkan kepada pelaku usaha UMKM yang berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM berjumlah 64,2 juta di 2018. Berdasarkan data Kementerian KUKM 2019, tenaga kerja UKM setara dengan 96,92 persen dari total tenaga kerja di Indonesia, yaitu sebanyak 119,6 juta orang.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.