BEIJING, KOMPAS.TV - China membantah program Belt Road Initiative (BRI) miliknya sebagai "jebakan utang" bagi negara-negara berkembang.
BRI adalah program investasi China di negara-negara berkembang yang diharapkan akan menghidupkan lagi rute perdagangan Jalur Sutra.
Program tersebut digagas oleh Presiden China Xi Jin Ping sejak tahun 2013. Hingga kini, China sudah menggelontorkan dana triliunan dolar AS untuk membiayai infrastuktur di ratusan negara.
"Tidak ada mitra BRI yang menyetujui apa yang disebut dengan 'jebakan utang'," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri (MFA) Zhao Lijian, seperti dikutip dari Antara, Selasa (27/6/2022).
Zhao menyebut istilah jebakan utang merupakan narasi yang keliru karena selama sembilan tahun berjalan, program tersebut menganut prinsip musyawarah, berkontribusi bersama, dan bermanfaat untuk masyarakat di negara-negara mitra.
Baca Juga: Google Hingga Twitter Wajib Daftar ke Pemerintah Hingga 20 Juli, Menkominfo Ingatkan Sanksi
Ia pun mengutip data Bank Dunia yang menyatakan jika semua proyek infrastruktur transportasi BRI terealisasi, pada tahun 2030 BRI akan menghasilkan USD1,6 triliun pendapatan dunia atau sekitar 1,3 persen dari PDB global.
"Lebih dari 90 persen pendapatan akan masuk ke negara-negara mitra," ucap Zhao.
Ia mengeklaim, Program Jalur Sutra modern itu juga mampu mengentaskan 7,6 juta orang dari kemiskinan ekstrem dan 32 juta jiwa dari kemiskinan sedang selama 2015-2030.
Zhao pun mengomentari rencana G7 membuat program tandingan dan bersiap mengucurkan dana USD600 miliar. Ia mengatakan, China akan menentang setiap tindakan kalkulasi geopolitik yang menyudutkan BRI.
Baca Juga: Presiden Ekuador Turunkan Harga BBM Setelah Aksi Protes Tewaskan 6 Orang
"Terkait dengan inisiatif baru yang diusulkan G7, China selalu menyambut positif. Tapi inisiatif semacam itu tidak harus saling menjatuhkan," sebutnya.
"Tahun lalu G7 telah mengusulkan inisiatif B3W (Membangun Kembali Dunia yang Lebih Baik). Apakah itu B3W atau inisiatif lainnya, dunia ingin melihat investasi dan proyek nyata yang akan memberikan manfaat kepada masyarakat," tambahnya.
Seperti diberitakan Kompas TV sebelumnya, negara-negara anggota G7 kini tengah berembuk memikirkan cara melawan dominasi China, dalam memberikan pendanaan ke negara berkembang.
G7 pun berkomitmen untuk mengumpulkan dana hingga USD600 miliar untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan di negara-negara berkembang. Dana tersebut akan dihimpun selama 5 tahun dan berasal dari swasta dan publik.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengatakan, negaranya akan memobilisasi USD200 miliar dalam bentuk hibah, dana federal, dan investasi swasta, selama lima tahun untuk mendukung proyek-proyek di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Baca Juga: Saingi Jalur Sutra Modern China, G7 Akan Kucurkan Dana 600 Miliar Dollar AS
Dana itu akan dimanfaatkan untuk membantu mengatasi perubahan iklim serta meningkatkan kesehatan global, kesetaraan gender, dan infrastruktur digital.
Namun Biden menegaskan, dana itu tidak cuma-cuma atau diberikan gratis, namun berbentuk investasi.
"Saya ingin memperjelas. Ini bukan bantuan atau amal. Ini adalah investasi yang akan memberikan keuntungan bagi semua orang," kata Biden.
Ia menambahkan, investasi dari G7 akan membuat negara-negara berkembang merasakan manfaatnya jika mereka bermitra dengan negara yang menjunjung demokrasi. Sebuah sindiran untuk China yang mengontrol ketat semua aspek kehidupan warganya.
Baca Juga: Blackberry Raup Pendapatan Rp2,48 T dari Bisnis Teknologi dan Keamanan Siber untuk Mobil
Biden mengatakan, ratusan miliar dolar tambahan dapat berasal dari bank pembangunan multilateral, lembaga keuangan pembangunan, dana kekayaan negara dan lainnya.
Sementara Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyebut, akan memobilisasi 300 miliar euro untuk prakarsa selama periode yang sama.
Para pemimpin Italia, Kanada, dan Jepang, juga berbicara tentang rencana mereka, beberapa di antaranya telah diumumkan secara terpisah.
Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson tidak hadir, tetapi negara mereka juga berpartisipasi.
Sumber : KOMPAS TV/Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.