JAKARTA, KOMPAS.TV – Para pengusaha penambangan batuan di daerah mengeluhkan soal ketidakpastian pelayaan perizinan pertambangan.
Hal ini menyusul terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No 55 tahun 2022 tentang pendelegasian wewenang perizinan penambangan mineral dan batu bara (minerba).
Pasalnya, dalam implementasinya, ternyata belum siap. Alhasil, membuat penambang terombang-ambing dan mendorong maraknya penambangan tanpa izin.
Karena itu, anggota DPR RI Mulyanto mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengevaluasi pelaksanaan Perpres No 55 tahun 2022 tersebut.
Anggota Komisi VII itu menegaskan dalam masa transisi, seharusnya ada pendampingan dari pemerintah pusat, agar pendelegasian dapat berjalan dengan mulus di daerah.
Pendampingan itu dapat membantu perangkat provinsi agar siap menerima amanat pendelegasian, baik dari aspek sistem, personel maupun anggaran.
"Harus diakui, walau pemerintah provinsi menginginkan adanya pendelegasian tersebut, namun dalam implementasinya ternyata tidak siap sehingga dikeluhkan penambang batuan," jelasnya, Selasa (24/5/2022), dikutip dari Antara.
Mulyanto meminta gubernur agar serius menyiapkan sistem dan perangkat daerahnya, agar pendelegasian dapat segera dilaksanakan.
Baca Juga: Presiden Terbitkan Peraturan tentang Kewenangan Pemprov dalam Izin Usaha Minerba
"Jangan hanya menuntut kewenangan regulasi, tetapi juga harus menyiapkan segala sesuatunya, agar kewenangan perizinan penambangan minerba yang didelegasikan Pemerintah Pusat dapat berjalan dengan baik dalam rangka melayani masyarakat dan mengoptimalkan pembangunan daerah," tegasnya.
Adapun Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI) sebelumnya juga mengusulkan agar Pemerintah Pusat segera melakukan revisi terhadap Perpres Nomor 55 Tahun 2022.
Usulan itu disampaikan HIPKI sebagai respons atas keluhan sejumlah pengusaha di bidang pertambangan mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu dan batuan, yang tidak mendapatkan kepastian layanan perizinan berusaha setelah terbitnya Perpres tersebut.
“Pemerintah Pusat tidak boleh membiarkan kondisi ini berlarut-larut. Layanan perizinan berusaha tidak boleh stagnan. Investasi harus terus bergerak sehingga pertumbuhan ekonomi berjalan sesuai harapan kita semua,” kata Ketua Umum HIPKI Ady Indra Pawennari.
Sejak pemberian perizinan di bidang pertambangan mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu dan batuan didelegasikan kepada pemerintah daerah provinsi, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara menolak melayani permohonan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).
“Mereka menolak karena Perpres Nomor 55 yang diundangkan pada tanggal 11 April 2022, sudah mengatur kewenangan pemberian WIUP mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu dan batuan sudah didelegasikan kepada pemerintah daerah provinsi. Tapi, begitu kita ke daerah, ternyata daerah belum siap,” jelasnya.
Ady pun khawatir hal ini akan memicu lahirnya penambangan tanpa izin atau ilegal di berbagai daerah.
Dia mengusulkan tiga opsi sebagai solusi untuk memecah kebuntuan yang terjadi dalam pelayanan perizinan di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan setelah terbitnya Perpres Nomor 55 Tahun 2022 tersebut.
Pertama, Dirjen Mineral dan Batubara menerbitkan edaran yang mengatur teknis pelaksanaan pelayanan perizinan berusaha sebagai pedoman bagi pemerintah daerah.
Kedua, revisi Perpres Nomor 55 dan memberi ruang adanya masa transisi.
Ketiga, cabut Perpres tersebut.
“Ini preseden buruk bagi dunia usaha dan investasi. Kita mengajukan izin ke pusat ditolak. Katanya ini kewenangan provinsi. Begitu kita ke provinsi, katanya mereka belum siap. Baik dari sisi penggunaan sistem, personil maupun anggarannya," tandasnya.
Baca Juga: BREAKINGNEWS! Jokowi Cabut Izin 2.087 Perusahaan Pertambangan Minerba
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.